07 • Bulan Tahu Dia Bukanlah Bintang

17.2K 2.7K 70
                                    

Bulan terbaring di ranjang yang membuat punggungnya selalu kesakitan setiap pagi. Warnanya biru, gambar lautan. Dia paling suka sama laut, sama air yang luas--samudra. Iya, laki-laki yang selama satu tahun Bulan sukai juga, laki-laki sama yang membicarakan hal-hal tidak penting di bawah hujan, laki-laki yang memberinya teh setelah pingsan, dan laki-laki yang selalu memberi perhatian manisnya itu. Lagipula gadis mana yang tidak suka diperhatikan? Bulan akhirnya percaya dengan kata semua orang, bahwa Samudra memang orang yang baik dan manis tentunya.

Namun sebesar mana rasa suka pada laut, ia tidak bisa berenang, tenggelam yang akan terjadi. Ini juga sama seperti menyukai Samudra, dia terlalu luas, terlalu banyak ikan cantik yang ada di sana, dan Bulan tahu dia hanya seekor siput kecil jelek yang ada di dalamnya.

"Bulan, kamu bisa bantu mamah 'kan?"

Bulan malas. Dia pura-pura tidak mendengar suara mamanya, tidak ingin mengukus kue pagi-pagi buta begini.

"Bulan?" Mamanya berdiri di pintu kamar.

Bulan bernapas berat. Meski dia benci melakukan hal yang selalu ia lakukan tiap pagi--mengukus dan menunggu kue di depan kompor, apalagi lututnya yang terasa perih sejak kemarin--tabrakan, kamu tahu, bukan? Tapi Bulan sayang mamanya, lebih dari siapapun--cinta pertama dan terakhirnya, meski mamanya tidak pernah tahu. Maka dia bangun dan memasang wajah cemberut.

"Kamu lagi apa, sih? Ayo cepet, kamu itu 'kan perempuan, harus bangun pagi, bantuin mamanya."

Mama berisik banget, memangnya wanita itu tidak tahu kalau lutut Bulan sedang sakit? Dan yang paling parah, mamanya membuat semua pikiran Bulan tentang Samudra tenggelam, sama seperti ketika Bulan mencoba berenang. Mungkin saja Tuhan akan mengutuk Bulan jika ia mendengar keluhan di hatinya.

"Iya, Mah. Ini tadi aku masih ngumpulin nyawa dulu." Bulan berbohong. Dia ingin sekali mengatakan bahwa ia sedang memikirkan laki-laki tampan, manis dan penolong itu, pangerannya. Namun pastinya mama akan menimpukkan centong nasi ke arahnya, karena malah asik memikirkan laki-laki di pagi hari. Siapa yang mau?

...

"Kamu mau bantuin aku masak kue?" tanya Bulan menggunakan bahasa ibu.

Si bocah laki-laki yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak dan berdiri cengengesan tersebut mengangguk. Ia membalas pertanyaan Bulan dengan gerakkan tangannya. "Iya, aku mau."

"Sini."

Bulan mengajarinya membuat kue basah yang biasa ada di pasar. Mengaduk adonan tepung beras berbarengan, bocah laki-laki itu tertawa senang, Bulan apalagi kala melihat wajahnya putih seperti setan karena tepung.

Anak laki-laki itu diam kemudian, ia menggoyang-goyangkan rok yang Bulan kenakan. Bulan menoleh kebawah--ke arahnya. Kembali menggerak-gerakkan tangan dan mulutnya tanpa suara. "Ada apa, Bintang?" Namanya Bintang.

"Boleh aku bawa kuenya ke sekolah?"

"Kamu mau bawa bekal?"

Bintang mengangguk.

"Mau berapa? Dua?" Bulan menunjukkan dua jarinya.

Bintang menggeleng. "Empat boleh?"

"Kamu mana habis segitu?"

"Aku habis kok." Matanya melotot, pipinya menjadi tembam.

"Yakin? Dua saja, ya?"

Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang