Matahari sekarang sedang panas-panasnya. Gemintang bersyukur karena ia sekarang ada di perpustakaan, menjalani hukuman skorsingnya--seorang diri. Ia ditemani Ibu Dini, gurunya saat itu yang menampar mulut Gemintang berkali-kali karena Bulan.
Bulan? Apa kabar dengan gadis itu? Apa dia masuk sekolah hari ini setelah kejadian kemarin? Gemintang tidak tahu. Karena ia harus belajar sendirian di perpustakaan selama satu minggu. Bosan, meski pendingin ruangan di sini membuat dirinya nyaman dan ingin tertidur di karpet lantai yang lembut.
Tunggu, untuk apa dia memikirkan perempuan sebesar kuda nil tersebut? Bukankah dia yang membuat Gemintang terkena hukuman membosankan ini? Seharusnya ia tidak peduli, tidak ada untungnya memikirkan perempuan sejelek dia.
"Kamu sudah selesai?"
Gemintang bernapas berat. Ia berhenti dari pekerjaan menulis sesuatu di buku. Mengacak-acak rambutnya. "Ibu lihat 'kan, saya masih nulis?"
Ibu Dini duduk di sebelah Gemintang. "Ternyata kamu bisa jadi anak yang baik juga, ya?"
Gemintang menaikkan alisnya. "Saya 'kan memang laki-laki baik, Bu."
"Laki-laki baik apa? Laki-laki baik kok sukanya nindas yang lemah dan berantem? Itu yang namanya laki-laki baik?"
"Saya baik, pacar-pacar saya bilang sendiri kok sama saya."
"Pacar-pacar yang mana? Lagipun itu karena mereka pacar kamu, yang namanya pacar itu suka bohong tahu."
Ibu Dini sok tahu sekali, maksudnya apa? Kalau soal bohong, Gemintang juga sudah tahu, tapi 'kan dirinya memang baik, seharusnya Ibu Dini tahu itu. "Kapan-kapan Ibu pacaran sama saya."
"Hah? Ngapain saya pacaran sama kamu yang begajulan gini? Lagipula apa yang bakal orang-orang bilang?" suaranya kian meninggi. "Saya pasti dikira tante-tante yang suka sama berondong."
Gemintang nyengir saja di tempatnya. Duduk di karpet sambil bersandaran dengan tangan. "Lah, biar ibu tahu gimana baiknya saya. Enggak bakal nyesel juga pacaran sama saya. Malah saya yang nyesel."
"Benar, ya, kata guru-guru, kejayusan kamu itu ngelebihin bandelnya kamu."
...
"Kenapa?" Gemintang malas sekali berbicara pada Bulan. Melihat tubuhnya saja Gemintang sudah malas--kalau tidak ingin dikatakan muak.
"Terimakasih."
"Untuk?"
"Kemarin." Bulan memberikan sekotak bekal merah muda bergambar beruang. "Isinya kue basah, semoga kamu suka."
Suara pohon dan angin melewati telinga dan pikiran Gemintang. Ia menerima kotak merah muda milik Bulan, membuka tutupnya. Isinya kue-kue bewarna hijau, merah dan lainnya. Gemintang ingin tersenyum. Namun ia tidak ingin Bulan berpikir bahwa dia mulai suka Bulan dalam artian sebagai teman. Malas sekali bukan punya teman semacam kuda nil?
"Ciye...," suara itu terdengar mendekat, bersiulan. Ramai. Itu mereka, bocah-bocah tolol, namun anehnya Gemintang tetap bersahabat dengan mereka--Nata, Rangga, Dan Mario si gas bocor. Gemintang buru-buru menutup kotaknya seperti sedia kala.
"Kalian udah jadian?" Nata yang pertama.
"Jangan mesum lu berdua di sini, mau gue kawinin?"
"Lu gila apa gimana?" Gemintang membalas pertanyaan Mario yang aneh itu. Mana mau dia dinikahkan dengan perempuan di hadapannya? Apa jadinya anaknya nanti?
"Si Mario emang gila, Tang." Rangga menepuk pundak Gemintang. "Masa bintang nikah sama kuda nil?"
Bulan hanya diam.
Mario melirik kotak yang Gemintang pegang. "Ngomong-ngomong, itu yang ditangan lu apaan, Tang?"
"Ini?" Gemintang menunjukkan kotak merah muda milik Bulan. "Ini isinya kayak kue-kue di pasar gitu, yang harganya seribuan."
"Lu bawa apa gimana? Kok warnanya pink? Lu sekarang jadi banci?"
"Mulut lu belum pernah gue jenggut, ya, Yo?" Gemintang menatap tajam mata Mario. Temannya ini memang aneh sejak dalam kandungan sepertinya. "Ini tuh dari kuda nil. Lagipula ngapain gue bawa kue murah kayak gini?"
"Murah-murah gini juga pasti enak, Tang." Nata merebut kotak di tangan Gemintang. "Hajar aja udah!"
Gemintang menariknya. Tidak boleh. Bagaimana kalau Bulan malah senang? Aduh, perempuan itu bisa-bisa akan terus sebangku bersamanya selamanya. "Kuenya enggak enak, Cuy. Mending dibuang," katanya.
"Jangan, kalau kamu enggak mau, enggak apa-apa. Kamu bisa kasih ke temanmu, tapi jangan dibuang." Bulan mengarahkan tangannya pada Gemintang, agar tidak membuang kuenya.
Gemintang tidak peduli. Untuk apa peduli pada gadis ini? Maka Gemintang membuang kue itu ke tempat sampah yang ada di dekatnya perlahan. Bulan berteriak, bergegas mengambil kotak dan kue-kuenya di sana.
"Jahat banget lu, Tang." Rangga menyenggol lengan Gemintang.
"Biarin."
Bulan masih merogoh kue-kuenya di tempat sampah, Gemintang yang melihatnya selama lima detik muak. Ia memegang lengan Bulan, tidak mengizinkannya. "Enggak usah diambil, buat apa? Lo mau makan sampah itu?"
"Gila, pantes aja badannya jadi gede." Mario tertawa, Rangga dan Nata sama. "Makanannya sampah."
Bulan tetap mencari. Gemintang semakin erat menggenggam lengannya.
"Kenapa sih kamu jahat sama aku, Tang?"
"Memangnya yang gue lakuin kemarin itu jahat, ya?"
"Aku berterimakasih karena kamu sudah mau jadi satu-satunya yang nolongin aku saat kejadian, Tang. apa berterimakasih itu salah?"
"Enggak usah pake aku-kamu, Kuda Nil. Jangan munafik!"
Bulan menggelengkan kepalanya. "Kamu tahu enggak, sih? Adik aku menganggap temannya itu adalah seseorang yang sudah menolongnya. Sama kayak aku, aku enggak punya teman, Tang. Bahkan satu-satunya temanku sejak SMP sudah lupa sama aku. Kamu sudah nolong aku, aku anggap kamu teman." Kuda Nil itu mengeluarkan emosinya. "Tapi apa salah kalau aku punya teman?"
Bulan berhenti, ia berlari meninggalkan Gemintang dan yang lainnya. Nata, Rangga dan Mario malah asik tertawa. "Seru amat sinetronnya."
"Kocak banget tuh si Kuda Nil, kenapa kita enggak anter dia ke audisi sinetron aja? Lumayan 'kan kalau dia dapet peran jadi pembantu?"
"Yaudah yuk, bocahnya udah nangis tadi, udah kabur juga, enggak ada yang seru lagi. Yuk ke kantin, gue laper!" Nata mengajak yang lain.
Mario dan Rangga mengiyakan. Mereka bertiga berjalan, namun tidak dengan Gemintang. "Gemintang, lo ikut nggak?"
Gemintang menggeleng. "Kalian duluan aja, Cuy. Gue nyusul!"
"Oke."
Gemintang masih berdiri di sana. Angin dan suara pepohonan lagi-lagi melewati telinganya, namun sekarang turun ke dalam jantung pemuda itu. Ia melepaskan dua kancing kemejanya, panas. Udara memanasinya. Matahari tampaknya juga seperti itu. Maksudnya apa? Apa yang ia lakukan sebenarnya barusan?
Gemintang tidak mengerti. Ia menjatuhkan tempat sampah besar itu, mengambil kotak merah muda yang terlihat, mencari kue-kue yang ia buang. Tidak terlihat di matanya, maka Gemintang terus Mengacak-acak sampah di depannya, masih mencoba menemukan kue-kue tersebut.
Dia ingin sekali merasakannya. Kalau boleh jujur. Meski ia tahu, itu dari si kuda nil jelek yang akan duduk di sebelahnya selama satu tahun.
...
Catatan,
Siapa disini yang tim Gemintang-Ibu Dini?
Semoga kalian suka ya baca bagian ini. Semangat ujian yang masih berlangsung, semoga dapat hasil yang memuaskan.
Salam,
Penulis Kecil Yang Ingin Bermimpi Tentang Kekasihnya Yang Sekarang Berada di Pelukan Orang Lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat Cantik
Teen FictionROMAN - FIKSI REMAJA | Hidup Bulan mungkin saja akan bahagia jika dia terlahir sebagai orang berada, cantik, wajahnya tidak berjerawat, dan badannya tidak besar seperti kuda nil yang selalu laki-laki itu katakan padanya, Gemintang. Memangnya kenapa...