Pemuda tampan itu pulang, katanya. Memakirkan motor besar di halaman depan, menatap rumahnya penuh kesenduan. Malam hari selalu terasa panas. Tidak ada yang pernah menunggunya pulang, tidak ada pernah satu orang pun, bahkan lebih baik lagi jika ia tidak pernah pulang. Lagipula apa itu pulang? Maka setiap ia pulang, malam yang hanya selalu menantinya.
Dia melangkah masuk. Pelan. Rumah tidak pernah terkunci sebelum ia pulang. Suara angin di luar sana masuk melewati celah-celah jendela. Suara-suara malam itu terdengar selalu sama. Angin, suara televisi tanpa penonton dan napas Bundanya setiap malam menahan tangis.
Gemintang masuk ke dalam kamarnya, nuansa angkasa beserta astronot kesukaannya selalu terlihat jelas. Namun saat ia masuk, Bunda sudah menantinya, lama.
Gemintang tersenyum--getir. Akhirnya.
"Kamu sudah minta maaf sama gadis itu?" Tiba-tiba Bunda membuat Gemintang sulit bernapas.
"Apanya? Gadis yang mana? Memangnya Gemintang salah apa?"
"Samudra cerita semuanya, Sayang."
Gemintang mendengkus. Samudra itu memang bangsat. Pasti dia mengadu yang tidak-tidak pada Bunda. Membuat Bundanya semakin membenci Gemintang, membuat Bunda semakin menangis di tiap malam. Samudra dan Ayah memang tidak ada bedanya. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, yang pernah ia dengar. Namun, Gemintang tidak. Dia tidak akan mewarisi darah setan sang Ayah. Darah bangsat perusak kesetiaan. Tidak sama sekali.
Gemintang melepas sepatunya. Berbaring di atas kasur, hanya harus bisa menahan semuanya. Emosinya. Kalimatnya.
"Gemintang," panggilnya. "Dia perempuan. Bunda perempuan. Kelakuan kamu kayak bukan seorang laki-laki, seharusnya kamu tahu itu."
Gemintang bernapas berat. Memandangi langit-langit kamarnya.
"Besok kamu harus minta maaf sama dia, Samudra akan ngawasin kamu. Jangan pernah ulangi lagi, ya. Jadi laki-laki baik, Sayang."
Geli sekali membayangkan dirinya harus meminta maaf sama kuda nil itu. Ditambah diawasi Samudra, seberapa rumit lagi hidupnya?
"Kalau kamu tidak berubah, pondok lebih baik."
Sialan Samudra. Ini ulahnya. Bajingan sekali dia sejak dulu. Semua masalah seperti terasa rumit bagi Gemintang, sedangkan Samudra, semua kebaikan seperti dialah orangnya, bersih, luas, dan indah layaknya lautan.
Gemintang tidak terima ini. Memangnya seberengsek apakah dirinya sampai harus masuk pondok? Ia benci menjadi yang kedua di hati Bundanya. Ia benci mendengar perbandingan-perbandingan antara ia dan laki-laki sok baik itu. Maksudnya, ayolah ... Samudra itu sama berengseknya!
Gemintang bangkit dari rebahannya. "Saya enggak mau minta maaf. Lagipula apa salahnya? Apa yang anak kesayangan keluarga itu bilang?! Si Bajingan itu bahkan enggak tahu kejadiannya kayak apa!"
"Jaga omongan kamu, Gemintang."
"Jaga omongan gimana? Memang benar 'kan? Lagipun apa maksudnya jadi laki-laki baik?! Apa maksudnya kelakuan saya bukan laki-laki?!" Gemintang menatap mata Bundanya. "Apa maksudnya itu suka ciumin perempuan di dalam mobil saat siang hari kayak Samudra--anak kesayangan Bunda yang dibilang kelakuan laki-laki baik?!"
Bunda mendengar. Gemintang tersenyum. Pahit. "Saya yakin, cowok berengsek kayak Samudra pastinya bakal hamilin banyak perempuan--gadis-gadis perawan--itukan kesukaanya," katanya. "Enggak pernah ada yang tahu isi hati dan selangkangan laki-laki yang katanya baik-baik itu!"
Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi. Memerah bukan karena jatuh cinta, memerah bukan karena malu, namun lebih dari itu--sebuah kesedihan.
Bunda memang hanya sayang sama Samudra. Memangnya Gemintang siapa sih? Dia kan hanya pembawa masalah. Sama seperti dulu kecil, kala memberitahu sang Bunda bahwa Ayah suka tidur di ruang depan sama perempuan lain--saat Bunda enggak di rumah--saat Bunda marahan sama Ayah.
Itu kan yang membuat Bunda sedih selama bertahun-tahun di tiap malam. Sadar kalau Ayah tidak pernah pulang di tiap malam, sadar kalau Ayah memang punya yang lain. Ah, siapa peduli? Bahkan tidak ada yang peduli pada Gemintang.
***
Dia menyesap tembakaunya dalam-dalam. Mengepulkan sang asap ke udara, membiarkan ia menari-menari di angkasa. Panas, katanya. Malam hari selalu terasa panas. Namun teras minimarket ternyata cukup dingin untuk membuat ginjal dan ampelanya mendidih.
"Boleh coba?"
Gemintang melotot, kaget. Melihat ke arah si penanya. Ibu Dini.
Laki-laki itu hanya diam. Melihat sang wanita menyenderkan tubuhnya sama seperti sang laki-laki remaja itu di dinding.
"Boleh?"
"Enggak."
"Kenapa?" tanyanya.
"Enggak baik," Gemintang membalas.
"Kalau enggak baik, kenapa kamu lakukan?"
Diam. Suara angin. Suara mobil di jalanan. Sinar bulan. Lampu-lampu putih di trotoar. Gemintang tersenyum. Menjatuhkan puntung rokoknya.
Hening beberapa saat.
Ibu Dini menatap mata Gemintang. "Terimakasih."
Gemintang mengangguk.
"Kalau anak saya sakit, saya pasti sedih."
***
a.n
Yang berengsek itu saya, serius.
Salam,
Ayah Suatu Hari Nanti
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat Cantik
Teen FictionROMAN - FIKSI REMAJA | Hidup Bulan mungkin saja akan bahagia jika dia terlahir sebagai orang berada, cantik, wajahnya tidak berjerawat, dan badannya tidak besar seperti kuda nil yang selalu laki-laki itu katakan padanya, Gemintang. Memangnya kenapa...