35 • Gemintang Tidak Pernah Berada di Langit

9.8K 1.6K 117
                                    

Samudra sepertinya sudah menunggu dirinya di parkiran sedari tadi setelah pulang sekolah. Lihat saja dia, gayanya membuat Gemintang ingin muntah bukan main. Duduk di atas motor Gemintang tanpa izin, memangnya dia siapa?

"Minggir." Gemintang mendorong dada Samudra untuk menjauh dari motor kesayangannya. Bahkan mungkin jika motornya bisa berbicara, dia lebih sayang dengan Gemintang daripada keluarganya.

"Ayo pulang," ajaknya.

Gemintang tidak menggubris ucapan Samudra. Ia sibuk mencari kunci motornya yang tiba-tiba menghilang dari tas karena kemunculan Samudra. Laki-laki itu memang sumber bencana bagi Gemintang.

"Tang," panggilnya pelan. Parkiran mulai ditinggalkan oleh anak-anak lain yang membawa motor, namun masih terhitung ramai jika mendengar riuhnya.

"Tang, gue duluan!" Mario berteriak dari kejauahan sembari membawa kendaraannya pergi. Gemintang mengacungkan jempolnya--masih mencari kuncinya itu--tidak ingin lebih lama lagi berada dekat-dekat dengan Samudra. Cukup di kelas saja ia merasa muak melihat Samudra.

"Gemintang!" Samudra sekarang lebih keras bersuara. Namun Gemintang tetap tidak mengacuhkannya. Kunci mana kunci?

"Bunda kangen."

Taik kucing. Sejak kapan dia kangen sama Keparat yang satu ini?

"Lu tahu 'kan Bunda sayang sama anak-anaknya lebih dari apapun?"

Gemintang terdiam. Gendang telinganya berdengung hebat. Sayang-sayang, sayang dari Hongkong?! Dia enggak percaya bahwa Bunda itu sayang sama dia sesayang Gemintang sama Bunda. Itu enggak mungkin akan terjadi. Dia cuman sayang Ayah dan Samudra. Maka saat kembar identiknya itu bilang bahwa sang Bunda sayang Gemintang lebih dari apapun, Gemintang hanya bisa tertawa.

"Jangan kayak anak kecil, Tang."

"Siapa? Siapa yang kayak anak kecil, hah?"

"Kalo lu nggak mau dianggep anak kecil, ayo kita pulang, ke rumah." Samudra membujuknya. "Lu inget pertama kali lu kabur dari rumah? Pas itu lu beneran masih bocah SD ingusan yang sok-sokan, ngambek--kabur cuman gara-gara diomelin karena pulang dari main bola pas mau malem. Lu tau Bunda waktu itu nyariin lu sampe suaranya habis? Dan parahnya, harusnya gue seneng karena temen berantem gue udah pergi, tapi nyatanya gue malah nyariin lu dan ketemu di rental internet--main tembak-tembakan. Lu beneran udah sakit kayaknya waktu itu.

"Akhirnya gue berhasil ngebujuk lu pulang pake es krim. Kocak banget sumpah, Tang. Dan setelahnya lu sering banget kabur, dan gue selalu pusing nyariin. Padahal harusnya gue diemin lu aja, paling nanti kalo lu laper lu bakal pulang sendiri, 'kan? Tapi nyatanya, gue selalu enggak tahan buat bawa lo balik. Gue kayaknya yang gila dari kecil." Samudra tertawa.

Apa-apaan si Berengsek ini? Mengungkit-ungkit masa lalu itu tidak asik. Astaga, harusnya Gemintang sudah pergi sedari tadi--kunci motornya di mana, sih? Gemintang mau meledak mendengar ocehan Samudra. Dia enggak pernah ngerasain rasanya enggak disayang, karena dia yang selalu disayang sama Bunda dari kecil. Gemintang hanya harus tidak peduli. Tapi emosinya tidak tertahan.

"Jangan belagak jadi seorang kakak yang harus jagain adiknya, Samudra. Lu bukan abang gue. Kita cuman beda sepuluh menit. Lu enggak lebih dewasa dari yang lu pikir." Gemintang berhenti mencari kunci motornya itu berada. Ia menatap mata Bajingan yang ada di hadapannya. Berharap ia pergi, dan tidak terlihat lagi.

"Seenggaknya lu harus pulang demi Bunda, Tang."

"Lu aja yang pulang, Bunda lebih seneng Samudra yang ia sayang pulang."

"Gemintang juga."

Mana ada?

"Harusnya kita kerja sama, demi Bunda, Tang. Kita kerja, cari uang sama-sama, lalu pergi bareng sama Bunda, mulai hidup yang baru. Biar Bunda enggak sedih lagi setiap harinya. Bukan lu doang yang muak, Gemintang," katanya. Samudra lelah.

"GEMINTANG!" Shania tiba-tiba menaiki motor pacarnya dan memeluk Gemintang.

Laki-laki itu risih bukan main. Ia melepaskan pelukan Shania dengan kasar. "Turun!"

"Kita udah lama enggak pulang bareng, aku nggak bawa motor juga."

"Nggak peduli."

"Kenapa sih semakin kamu kasar sama aku, aku semakin suka sama kamu?"

"Sakit." Sumpah Gemintang tidak bohong. Shania itu sakit. Gemintang itu berpengalaman. Dia tahu siapa yang menyukai dirinya dan siapa yang sayang dengan dirinya. Shania hanya menyukai saja--sudah jelas. Tidak seperti perempuan yang ia lihat sekarang dari kejauhan--di parkiran khusus guru--Ibu Dini.

Ibu Dini melihat balik ke arah Gemintang dari kejauhan, ia tertawa. Gemintang kebingungan apa yang ia tawakan. Namun nyatanya tangan Shania masih melingkar jelas di perut Gemintang.

Laki-laki itu menjauhkan tangan gadisnya. Berteriak. Membuat Shania turun dari motor, kemudian menyalakan mesin motornya yang ternyata kunci yang ia cari sudah tertancap di lubang kunci sedari tadi. Kebodohan macam apa lagi ini?

Ia menjalankan motornya. Meninggalkan Shania yang berteriak dan Samudra yang berkata pulang, pulang dan pulang.

Persetan dengan semua orang. Memulai hidup yang baru, dengan Bunda dan Samudra tanpa Ayah? Gemintang ingin tertawa.

Ia melajukan motornya kencang. Menembus langit dan cakrawala--meninggalkan sekolah. Tidak peduli apa-apa lagi. Ia harus mencari tempat berlindung dari hujan dan panas--mencari pekerjaan yang bisa menghidupi dirinya seorang diri. Dia tidak akan pulang ke rumahnya lagi--buat apa? Toh, dia tidak pernah diharapkan.

Hingga ia kelelahan. Berhenti membeli es gelas di warung. Menghilangkan dahaganya, gerimis mulai turun dari langit. Bulan juga. Kuda Nil itu melewatinya--matanya sinis sekali--berjalan menjauh hampir ke tengah-tengah jalan beraspal demi menghindar dari laki-laki tampan yang tengah meminum es gelasan. Astaga, cobaan apalagi ini? Untuk pertama kalinya ada perempuan yang sejijik ini dengan Gemintang. Apa dia tidak ingat, dia pernah menyukai Gemintang saat bocah dulu?

Dan kemudian motor berkecapatan tinggi hampir menyerempet Bulan kalau saja Gemintang tidak dengan cepat menarik tangannya. Napasnya tersengal--tidak beraturan. Bulan pun sama, keranjang berisi sisa-sisa kue terjatuh--membuat kue-kuenya berceceran di mana-mana.

"WOI!" Gemintang berteriak. Namun motor itu sudah terlalu jauh.

Gemintang memungut kue-kue itu, memasukkannya lagi ke dalam keranjangnya. Kuda Nil hanya berdiri mematung saja.

"Lu seneng banget sih di serempet motor, Kuda Nil?" Gemintang kesal sendiri. "Enggak usah jauh-jauh menghindar, gue juga enggak bakal gangguin lu juga--capek."

Kuda Nil ini hanya diam saja. Dia sebenarnya masih hidup, 'kan?

"Pulang gih, gue males liat muka lu, Kuda--"

"Makasih, Tang." Matanya terbuka lebar. Kembali berjalan meninggalkan Gemintang.

Gemintang melihat dari belakang, perempuan dengan tas punggung dan keranjang di tangannya. Dia terlihat sempoyongan. Dia pasti masih terkejut tadi. Salah sendiri jalan kok sampai segitunya demi bisa menghindar dari laki-laki tampan ini.

Namun bagaimana kalau dia diserempet motor lagi, atau lebih parah--bagaimana kalau mobil? Aduh, Gemintang pasti sudah bego stadium akhir. Bagaimana bisa dia mengkhawatirkan gadis itu? Sudahlah, itu tidak penting. Biarkan saja ia tertabrak mobil.

Namun Gemintang menyalakan mesin motornya yang mati. Menjalankan kendaraannya lagi. Mengejar gadis bodoh itu. "Naik cepet," katanya, menepuk-nepuk jok belakang yang kosong.

...

a.n

Menurut kalian kekurangan cerita ini sejauh yang kalian baca itu apa, sih? Jawab yang jujur, ya, supaya saya bisa mengevaluasinya. :(

Salam,

Penulis Yang "Baik Hati"

Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang