17 • Gemintang Penuh Dengan Cahaya

12.1K 1.9K 60
                                    

Gemintang ingat malam itu. Malam yang selalu panas, namun tidak lebih panas dari malam barusan. Ketika wanita itu datang, saat ia sedang bercumbu bersama kekasihnya yang selalu setia, selalu ada di setiap malamnya, dan selalu membuat hatinya menjadi hangat--tembakau.

Namun tak sadar, wanita itu bak orang ketiga telah merusak hubungan lamanya dengan sang kekasih pujaan hati. Dini hari, waktu setelah malam--malam yang setiap harinya terasa panas bagi laki-laki penyuka langit dan bintang-bintang persis seperti namanya. Gemintang yang merasa tidak memiliki sinar.

Maka saat sahabat-sahabatnya yang bodoh--meski Gemintang sayangi itu--menawarkan sang kekasihnya lagi. Ia menolak. Tidak peduli kata mereka bahwa sekarang Gemintang sudah menjadi banci.

"Payah lu, Tang!" sesal Nata.

Rangga menimpali. "Lu sekarang jadi bencong?"

"Enggak ada angin enggak ada hujan," kata Mario.

"Cakep." Gemintang asal benar saja.

"Gue enggak lagi pantun, Tang!" Mario kesal sendiri. "Siapa yang bikin lu tobat begini?" Suara Mario paling besar sendiri di warung kecil belakang sekolah. "Shania?"

Gemintang tidak peduli, lagipula siapa Shania? Gadis itu ada hanya untuk membuat Gemintang senang--menaikkan kebanggaannya memacari cewek terseksi di sekolah. Lantas apa pentingnya bagi mereka? Kalau toh Mario, Nata dan Rangga tahu kalau ini ulah Ibu Dini. Gemintang sudah pasti lebih memilih telanjang di lampu merah daripada digoda oleh bocah-bocah bego kayak mereka. Gemintang pasti disangka sudah kelainan karena dekat dengan guru sendiri, atau lebih parah--jadi berondong bayarannya Ibu Dini. Aduh, mau ditaruh di mana wajahnya yang tampan ini?

Gemintang harus segera menghindar. Banyak ranjau di mana-mana. Ia harus segera melompatinya. Dan ketika itu juga, Bulan melewati Gemintang dan teman-temannya. Berjalan, sembari memakan bakso tusuk tanpa tahu bahwa ia melewati salah satu pangeran tampan pujaan seisi sekolah.

Refleks, laki-laki itu mengalihkan perhatian para teman bajingannya untuk memerhatikan si Kuda Nil.

Gemintang menyelengkat kaki Bulan. Perempuan besar itu jatuh. Bumi terguncang hebat akibat getarannya, gempa kalau kata Gemintang. Hiperbola memang jika laki-laki itu mengerjai gadis dengan bobot jumbo tersebut. Ia tertawa.

"Kalau makan itu duduk, Kuda Nil. Jadi jatoh 'kan?"

Mario menimpali. "Anjay, baru tau gue kalau kuda nil jatoh itu bisa gempa."

Nata dan Rangga tertawa. Sumpah demi apapun, itu lucu sekali jika kamu melihatnya. Gemintang tidak kuat menahan gelak tawanya, bakso tusuk itu berceceran ke mana-mana. Namun, Bulan belum mengambilnya, perempuan besar itu masih terduduk di aspal jalanan. Panas.

"Sini gue bantuin," katanya. Gemintang mengulurkan satu tangannya. Bulan tidak bisa melihat wajah Gemintang, sinar matahari menghalangi.

Mario bersiul. "Pepet terus, Tang, Putri Bulan kita!" Kemudian tertawa. Kencang.

Gemintang menaruh telunjuknya di bibir. Menyuruh Mario diam.

"Ayo, genggam tangan gue."

Bulan mengangguk. Ia menerima uluran tangan laki-laki gagah itu. Ketika itu juga, Gemintang mencoba menariknya, hanya mencoba. Karena kemudian saat badan Bulan mulai terangkat, Gemintang melepas genggamannya. Bulan terjatuh lagi.

Tawa menguar di udara. Panas matahari sepulang sekolah membuat peluh menetes di leher. Basah. Ini keberuntungan, selain Bulan menjadi pengalih perhatian, ternyata memang selalu asik mengerjai Kuda Nil. Ah, Gemintang memang harus selalu senang sebelum ia pulang ke rumah.

"Parah lu, Tang. Putri Bulan itu!" tawa Mario berikutnya.

"Biarin, lagi punya badan gede banget." Gemintang masih berdiri di depan Bulan. "Enggak jadi gue tolong, dah."

Mereka tertawa lagi. Hingga akhirnya berhenti. Samudra datang bak tsunami di siang bolong walaupun berada di tengah kota, begitu deras, membuat semuanya diam. Memunguti bakso tusuk yang tercecer dari plastiknya. Mengulurkan tangan pada Bulan. Membangunkan Bulan dari jatuhnya.

Gemintang muak dengan Bajingan yang satu ini. Mau apa lagi sih dia? Mengapa ia belum pulang juga? Bukankah seharusnya ia sedang berciuman sama salah satu pelacur yang ada di sekolah sekarang?

Aduh, ini bocah pasti bakal cari perhatian lagi sama Bunda. Kalau boleh, Gemintang benar-benar mau nonjok kembarannya yang tolol itu sekarang juga.

"Seharusnya lu minta maaf, Tang," kata Samudra.

Gemintang juga tahu itu.

...

Gemintang terkekeh sekarang. Bulan ada di sana, di halte, menunggu sang angkutan umum. Samudra bilang ia akan menjaga Bulan dari Gemintang, namun ternyata yang terjadi sekarang, Samudra malah meninggalkan Bulan di halte sendirian. Benar 'kan apa yang ia bilang, Samudra itu tidak ada bedanya dengannya. Berengsek!

Namun semua orang buta. Matanya katarak. Paru-parunya tertutup asap pembakaran hutan. Membuat hati tidak bisa melihat betapa bejatnya Samudra.

Hujan mengguyur kota ini sekarang. Gemintang berhenti memandangi gadis besar itu di halte yang masih menunggu jodohnya untuk pulang sedari tadi dari seberang jalan.

Sekarang cowok itu menyebrangi jalananan untuk sampai ke tujuan. Hanya beberapa kendaraan yang lewat. Air menetes deras dari atap halte.

"Mau pulang?" tanya sang Ksatria. Ksatria kecilnya Kuda Nil dahulu. Tidak terdengar, hujan menyembunyikan kalimatnya.

Meski tidak pernah benar-benar disembunyikan hujan.

Gemintang benci mengakui ini. Selalu menjadi Bajingan bagi semua orang.

Ah, mungkin memang menjadi Bajingan layaknya bintang yang yang bisa membakar sebuah rumah di depan lebih baik--agar semua makhluk dapat menghindar terlebih dahulu. Daripada menjadi lautan yang dengan tenang bisa menyakiti perlahan-lahan dengan memikat mangsanya berenang kemudian tenggelam di dalam sana.

Sebenarnya ada apa sih dengan hati dan pikirannya?

...

a.n

Maaf.

Salam,

Seseorang Yang Ingin Menjadi Pangeran.

Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang