"Pecundang."
"Diem. Sebelum gue hajar muka lo lebih dari ini." Napasnya tersengal-sendal.
Samudra bangkit. Merenggangkan dasinya. Mata itu sudah memerah. Kalau dia memang tidak ingin pulang ke rumah dan menemui Bunda yang selalu menanyakan kabarnya pada Samudra, ya sudah itu haknya. Meski Bunda sering menunggunya di depan pagar sekolah, meski Gemintang selalu berhasil pergi kabur seperti pecundang. Tetapi bukan berarti dia bisa berbuat kasar pada ibunya sendiri--meneriaki ibunya seperti binatang.
Serius, mengapa bocah yang satu ini tidak pernah mengerti, sih? Mengapa dia tidak paham bahwa mental Bunda hancur karena cinta butanya itu. Samudra sadar itu, Samudra mau membawa Bunda pergi dari rumah ketika ia sudah lulus--memulai pekerjaan. Tetapi mengapa Gemintang malah memikirkan dirinya sendiri?! Dianggap? Kalau memang dia tidak dianggap, untuk apa Bunda repot-repot menunggunya pulang setiap pulang sekolah?! Samudra mengusap darah yang ada di bibirnya.
"Sekarang gue tanya sama lo, Tang!" tegasnya. "Maksud lo apa dorong Bunda kemarin? Teriak-teriak di depannya. Lo udah jadi preman sekarang? Lo malakin anak sd di pasar?! Hah?!"
"Wei, lo mau mati?" Mata itu tajam.
Samudra berjalan ke arah saudaranya, mendekat, berbicara di depan matanya. "Wei ... udah cukup."
"Tutup mulut lo, Berengsek! Kalau aja lo bukan saudara gue, udah gue habisin dari tadi."
"Kalo lo mau habisin gue sekarang silahkan, gue terima. Asal lo janji bisa bawa Bunda pergi dari tempat sialan itu dan bikin dia bahagia!" Kemudian tertawa kecil--Samudra mengejek. "Tapi apa bisa, hah? Sekarang aja lo bahkan kabur dari Bunda, lo nggak bisa berjuang gimana seharusnya seorang laki-laki. Lo lari dan pergi ninggalin semua masalah." Satu kata terkahir. "Pengecut!"
Gemintang menarik kerah seragam Samudra. Mereka bertatapan. Dia menangis--Gemintang. Air matanya tidak bisa ditahan rupanya. Samudra hanya bisa terkekeh demi menahan air matanya juga. Napas mereka terus terpacu.
"Lo bilang apa?"
"Pengecut."
"Sekali lagi," katanya. Gemintang tersenyum.
"PENGECUT!"
Burung-burung berterbangan di udara, sinar matahari kian membara, dan pukulan itu tepat di hati yang terluka. Gemintang menghajar lagi saudaranya--meninjunya di wajah--menyudutkannya sampai tembok belakang kelas. Yang terakhir, Samudra menghalau tinjuan Gemintang, balik menyerang--memukul Gemintang tepat di pipinya, menendang perutnya dan meninjunya sekali lagi.
Gemintang berteriak--mencengkram baju Samudra, saling bertatapan, darah tercetak jelas di wajah mereka masing-masing. Dan keringat menetes hingga membuatnya kian perih--teramat pedih namun tidak ada yang lebih perih selain hati yang tersakiti.
Mereka saling mencengkram bahu satu sama lain, saling mendorong--melihat siapa yang paling kuat. Melihat siapa yang bisa bertahan. Dan melihat siapa yang akan menang. Hingga saling memukul satu sama lain--membuat mereka berjauhan--jarak dan perasaan.
Saling bertatapan. Bernapas dengan kencang. Samudra melihat mata itu, ia merenganggakan dasinya lagi--dan mengusap darah bercampur keringat yang menetes di lehernya.
"Berengsek," bisiknya.
Gemintang membuka ikatan dasi--membantingnya ke lantai, melepaskan dua kancing atas seragamnya. Keringat dari dahi, mata dan hati mereka berdua tidak bisa ditahan lagi. Semuanya keluar begitu saja.
Perasaan itu. Air mata itu. Jatuh sudah di bawah tanah.
"Gue akan bawa BUNDA!--bahagian dia, tanpa BAJINGAN SIALAN ITU! Dan juga tanpa LO! Gue bisa seorang diri, gue sama Bunda nggak butuh lo dan Ayah untuk bisa bahagia!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat Cantik
Teen FictionROMAN - FIKSI REMAJA | Hidup Bulan mungkin saja akan bahagia jika dia terlahir sebagai orang berada, cantik, wajahnya tidak berjerawat, dan badannya tidak besar seperti kuda nil yang selalu laki-laki itu katakan padanya, Gemintang. Memangnya kenapa...