"Cahaya bilang, bodo amat kamu mau suka juga sama aku atau enggak."
Tidak. Itu hanya kalimat. Bulan tetap berharap bahwa Samudra--pangerannya itu menerima cintanya. Dia lelah dengan hidupnya, Bulan lelah dengan badannya yang besar, dia mau sang Pangeran penolong itu merubahnya, membuat dirinya lebih baik.
Bulan menahan matanya agar tidak berpaling dari mata Samudra yang berkilau. Keringatnya jatuh di tanah. Panas dalam. Tenggorokannya butuh minum. Sial, Samudra juga sama--dahinya berkeringat. Membuat Bulan menggeliat tidak tahu arah. Bibirnya merah sekali ya Tuhan.
"Bagaimana ya?" Samudra menggaruk lengannya.
Bulan masih berharap. Tinggi sekali. Bulan tidak mau jatuh. Ini laki-laki kedua yang ia sukai. Sejak terakhir ia mengatakan rasa sukanya pada laki-laki--Gemintang, Bulan menjadi penakut, ia menarik diri dari pertemanan. Lagipula, teman-temannya selalu hanya ingin tahu--tidak membantu apa masalah Bulan, mengejek Bulan--mengolok-oloknya berbadan besar dan berjerawat. Bulan, persis seperti namanya.
"Saya terlalu baik buat kamu, Bulan," katanya.
Apa? Pangerannya lah yang terlalu baik bagi Bulan. Bukan sebaliknya. Samudra pasti bercanda.
"Kamu bisa dapat yang lebih baik dari saya."
Bendungan bocor. Air membludak. Banjir seketika. Wajahnya memerah. Seperti kebakaran. Bulan itu bodoh. Tolol sekali dirinya berharap pada semesta. Hei! Bangun, Bulan! Bulan itu jelek, wajahnya enggak rata, badannya kayak kuda nil. Mana mau laki-laki terhormat seperti Samudra mau sama badak Sumatera?
Bulan berpikir apa sih?
Seharusnya Bulan tahu sejak awal. Sehabis ini pasti dia akan jadi bahan ejekan, karena menembak cowok paling sempurna di sekolah dan ditolak setelahnya.
Bagus sekali, kuda nil yang tidak tahu diri.
"Kamu enggak apa-apa 'kan?" tanyanya. "Kita bisa jadi teman, Bulan."
Apa? Teman? Sedih sekali kata yang satu itu.
Selama ini Bulan salah mengira, selama ini Bulan terlalu ge'er akan sifat sang Pangeran. Percaya diri sekali kalau dia bisa bersama Samudra. Bukankah semua orang juga tahu kalau kuda nil itu enggak pernah tinggal di lautan luas--samudra.
Bulan menyeka air matanya. Samudra tahu air mata Bulan. Terlalu jelas. Maka Bulan hanya bisa terus mencoba menahan air matanya meski sulit sekali. Dan kalimat Samudra setalahnya membuat Bulan mati.
"Mau saya antar ke kelas?"
...
"Kamu makan bakso udah berapa mangkok, Lan?"
Bulan tidak peduli kata-kata Cahaya.
"Gimana badan lu mau kurus coba?" Kalimat Audrey membuat Bulan meringis.
"Udah gue bilang, Drey. Cowok itu makhluk visual. Gengsi mereka gede. Kebanggan diri meraka tinggi. Itik buruk rupa akan jodoh sama Pangeran lu itu cuman ada di novel," cibir Salma. "Lu seharusnya tahu itu. Kehaluan lu kurang-kurangin, deh. Malu kalo dilihat orang."
"Biasanya ini berhasil, Sal!"
"Kalo berhasil, kenapa lu masih jomblo, Drey?"
"Ya-ya-ya, gue kan pemilih."
"Kemaren aja bilang mau diperkosa Pak Galang!"
Audrey mencubit lengan Salma.
Bulan tidak peduli mau dirinya ditelan bumi apalagi hanya Salma dan Audrey yang bertengkar. Amat sangat. Dia hanya harus terus makan bakso. Apa lagi yang bisa ia lakukan sekarang? Menangis? Ah, air matanya sudah kering.
"Lan?" panggil Aya.
Diam.
"Kamu enggak apa-apa 'kan?"
Pertanyaan itu lagi.
Capek sekali rupanya. "Aku jelek banget ya, Ya?"
Suara Audrey dan Salma sedang tarung bebas di ranjang kamar Cahaya menjadi latar.
"Perempuan itu cantik, kok. Kamu perempuan 'kan, Lan?"
"Aku juga tahu, Ya. Aku suka baca kata-kata bijak di internet, mereka bilang, enggak ada perempuan jelek--perempuan itu cantik, katanya; cantik itu relatif. Tapi nyatanya, itu semua bohong 'kan?" lirih Bulan.
"Lalu kamu merasa diri kamu jelek? Ini cuman masalah cowok doang, Lan. Dunia enggak bakal kiamat walau kamu ditolak sama seratus laki-laki. Tuhan nyiptain semua hal itu berpasangan, Lan," katanya. "kiri dan kanan, air dan udara, malam dan siang, serta Bulan dan...."
Samudra, pintanya.
"Kamu enggak jelek, Lan."
"Aku jelek, Ya!"
"Kamu-enggak-jelek, oke?"
"Kata siapa?"
"Ya Tuhan! Kata aku barusan!" Cahaya gemas sendiri.
Cahaya sih enak saja bilang seperti itu. Dia 'kan cantik. Wajahnya bak bidadari, kaya, terpelajar, sempurna. Dia tidak tahu saja rasanya seperti Bulan.
"Kamu enggak jelek, Lan!"
"Masalahnya aku emang jelek!"
Cahaya tambah gemas. Dia menatap mata Bulan. "Kamu mau apa?"
Samudra. Sang Pangeran penolong.
"Aku mau dia, Ya."
Cahaya menyeret lengan besar Bulan ke cermin besar. Bulan berdiri di depan cermin, Aya di belakang, memeluk Bulan.
Pantulan cermin itu terlihat kontras. Kuda Nil dan Bidadari--besar dan langsing. Bulan dan Cahaya--tidak rata dan berkilau. Uh, kedekilan Bulan rupanya telah mendarah daging. Disandingkan dengan Aya, rasanya tambah panas.
Jerawat dan gendut. Bulan ingin mengumpat melihat bentukannya.
"Besok kamu lari bareng aku, Lan."
"Apa?"
"Aku bakal kasih kamu semua perawatan kulit aku."
"Maksudnya?"
"Kamu enggak mau jelek 'kan?" tanya Aya. Tegas.
Bulan mengangguk.
"Kamu mau jadi cantik 'kan?" ucapnya. "Meski aku enggak pernah ngerti cantik itu sebenarnya kata darimana."
Bulan diam.
"Aku mau buat kamu cantik, Lan." Aya menjeda. "Dengerin aku. Kalau kamu sudah kurus seperti gagang sapu, wajah kamu bersih kayak piring di dapur, kamu jadi cantik sama kayak apa yang kamu mau, coba nyatakan sekali lagi rasa suka kamu sama laki-laki yang nolak kamu itu."
Cahaya membalikkan wajah Bulan yang sedang bercermin ke belakang--melihat dirinya dalam. Mata mereka beradu. Tegas.
"Kalau dia nerima kamu saat kamu sudah cantik. Bisa dipastikan dia benar-benar bajingan!"
Suara nuklir terdengar menggema di angkasa. Bahkan sampai ke jantung dan usus halus. Bulan hanya harus tenang. Samudra itu enggak bajingan, Cahaya!
"Aku bakal tonjok hidungnya sampai berdarah kalau dia emang benar nerima kamu saat kamu sudah 'cantik'!"
...
a.n
Asik, akhirnya kita mulai cerita liar ini!
Salam,
Ikan Badut Pujaan Laut
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat Cantik
Teen FictionROMAN - FIKSI REMAJA | Hidup Bulan mungkin saja akan bahagia jika dia terlahir sebagai orang berada, cantik, wajahnya tidak berjerawat, dan badannya tidak besar seperti kuda nil yang selalu laki-laki itu katakan padanya, Gemintang. Memangnya kenapa...