Seluruh kelas tertawa menertawakan kalimat perempuan bertubuh besar itu. Siapa pun tahu bahwa itu jawaban terlucu tentang hobi. Laki-laki yang ada jauh di belakangnya melihat ini sebagai bahan hiburan. "Kaya kuda nil masa."
Seisi kelas kembali riuh dan penuh tawa mendengar ucapan laki-laki itu. Dengan cepat, perempuan tadi duduk dari dirinya.
"Wah parah, masa kaya kuda nil." Seorang laki-laki menimpalinya. "Parah lu, Tang. Mentang-mentang badannya gede."
"Emang gede 'kan?" Gemintang tetap tersenyum, melihat gadis itu dengan tangan yang menopang dagunya.
"Dia nungging juga lu mau," kata temannya yang bodoh di sebelah Gemintang.
Laki-laki berjam tangan cokelat itu menipiskan matanya. "Buat lu aja, dah, Yo. Lu kan jomblo tuh." Gemintang tertawa, menepuk pundak temannya--Mario. "Nah, ini baru buat gue." Dia melihat perempuan yang sedang berdiri sekarang, bak bidadari--wajahnya menyilaukan seisi kelas, dan seperti mesin pendingin masjid--suaranya begitu halus dan menentramkan hati dan pankreas yang sedang terbakar.
"Halo semua, udah kenal dong pastinya, nama aku Cahaya, biasa dipanggil Aya."
"Halo Aya!" Suara satu orang laki-laki memancing kaumnya yang lain.
"Namanya Cahaya doang? Panjangnya Cahaya Illahi, kali, ya?"
"Jangan digangguin dong Aya-nya."
Sekarang kelas riuh kembali, bukan karena menertawakan seseorang kali ini. Ini bidadari. Gadis terpopuler sejak kelas satu di sekolah ini.
Gemintang berbisik pada Mario. "Ini baru jatahnya gue, Yo. Lu sama yang di depan aja tuh si Bulan, si kuda nil." Gemintang tertawa. "Pas, dia gendut sama pendek, lu kurus sama tinggi. Kayak angka sepuluh, sempurna. Katanya yang gue denger, cewek gemuk itu asik loh di kasur...." Gemintang berbisik, di telinga Mario.
Mario memukul bahu Gemintang. "Sialan lu, Tang. Ogah amat, nanti gue jadi tahu di lindes sama dia."
Gemintang tertawa.
"Tapi Bunga mau lu kemanain, Tang?" tanya Mario heran.
Gemintang masih melihat Aya dengan lesung di pipinya, kemudian berbalik menengok teman yang setia mendengar semua ceritanya sejak kelas satu SMA. "Bunga? Dia udah lulus kemarin. Kenapa kita enggak cari yang baru?"
"Wah, Berengsek lu, Tang. Semua cewek diembat, bagi kek satu."
"Lu kata cokelat, bagi-bagi?"
Mario tertawa. "Ajarin gue lah!"
"Santai. Intinya satu, Yo."
"Apa?"
"Lu harus Ganteng."
Mario menonjok bahu Gemintang sekali lagi. "Iya, gue tau lo ganteng, Tang, tapi sifat lo enggak akan seganteng kembaran lo itu." Mario menaik-naikkan alisnya.
"Berisik lu!"
Hingga jarum jam berputar semakin cepat, akhirnya Ibu Hana--wali kelasnya membuat denah kursi masing-masing agar mereka bisa saling mengenal satu sama lain. Gemintang iya-iya saja, karena siapa pun yang duduk bersamanya, tidak ada masalah selama dia pintar dan bisa membuat nilai Gemintang tetap bagus seperti biasanya.
Bulan yang pertama dipindahkan, Gemintang ingin merasa kasihan, namun melihat tubuhnya yang gemuk dibandingkan perempuan lain meski masih dalam tahap normal, Gemintang tetap ingin tertawa.
"Bulan, kamu duduk di barisan kedua dari belakang, ya."
"Memangnya kenapa, Bu? Saya mau di depan saja, Bu."
Gemintang tiba-tiba menyeletuk kembali. "Yang di belakang lu kasihan, badan lu 'kan gede kaya kuda nil!"
"Pantes hobinya mandi dua kali sehari." Mario kini ikut menimpali. Beberapa orang tertawa kembali. Menyoraki Bulan di depan sana.
Ibu Hana menatap mata Gemintang. "Kamu jangan ketawa aja, Gemintang. Kamu juga duduk di sana, di sebelah Bulan sekarang, dan duduk di bangku pojok biar enggak kemana-mana. Kalau sampai pindah-pindah, akan ada hukumannya. Jadi anak yang baik, ya, kali ini."
"Loh? Kok saya, sih, Bu?" Cegah Gemintang. "Kenapa harus saya?" Gemintang menatap Mario dan Ibu Hana bergantian. "Kan ada Mario, kenapa enggak dia aja?"
Ibu Hana melipat tangannya di dada.
"Lagipula cowok seganteng saya mana bisa sebangku sama cewek gede dan jerawatan kaya gitu. Apa kata cewek-cewek, Bu?" Gemintang masih kokoh menghindar. "Lengan saya yang saya gedein di tempat tinju aja ... masih kalah gedenya sama lengan dia!" Itu berlebihan, Gemintang tahu. Dan seisi kelas tertawa, bergunjing.
Ibu Hana menatap tepat di mata Gemintang. "Aduh, Gemintangku yang cakep, sayangku ... kamu mau duduk sebangku sama Bulan atau Ibu suruh bersihin kamar mandi sendirian?" Ibu Hana menyunggingkan bibirnya ke kanan. "Lagipula, kalian bisa saling melengkapi, Bulan dengan kepintarannya dan kamu dengan kejayusan kamu itu."
"Saya enggak jayus."
"Udah ... terima aja, Tang." Mario berbisik.
"Bacot!"
Mario tertawa.
Dengan wajah seperti keset kamar mandi, Gemintang menuruti Ibu Hana. Mengambil tasnya dan berjalan menuju kursinya yang sudah ditempati Bulan. Tidak apa, bukan masalah, hanya Bulan, lagipula Bulan masuk ke dalam rangking sepuluh besar di kelasnya dahulu 'kan?
"Kalau dia nungging, jangan khilaf, ya?" Mario tidak bisa menahan tawanya. Menginjak-injak harga diri Gemintang.
Kali ini Gemintang yang menendang sesuatu dari Mario di bawah meja. Sesuatu yang tidak bisa disebutkan.
***
a.n
Selamat malam minggu, sahabat jomblo. Sebelum kalian bertanya kenapa perbabnya enggak panjang (perbabnya enggak sampai seribu kata), saya akan jawab, karena saya males dan melelahkan.
Serius, membuat perbab yang panjang itu melelahkan dan bikin ide jadi terkuras sama kayak mengejar dia. Jadi maafkan saya dengan otak saya yang gobloknya alami ini. Sebenernya sih males aja. Jajaja.
Salam,
Malaikat Juga Tahu, Bukan Saya Yang Jadi Juaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat Cantik
Teen FictionROMAN - FIKSI REMAJA | Hidup Bulan mungkin saja akan bahagia jika dia terlahir sebagai orang berada, cantik, wajahnya tidak berjerawat, dan badannya tidak besar seperti kuda nil yang selalu laki-laki itu katakan padanya, Gemintang. Memangnya kenapa...