Samudra tidak akan berdiri di teras sekolah seperti orang bodoh sekarang, jika saja hujan tidak datang begitu saja menimpa Jakarta dan sekolahnya di sore hari. Semua orang di sekolah sudah pulang sedari tadi, satu setengah jam yang lalu. Ini gara-gara Ibu Hana, seharusnya ia tidak perlu repot-repot membantu merapikan lemari guru itu. Tetapi hatinya lemah, terlalu baik bagi semua orang. Dan sekarang Ibu Hana sudah pulang, meninggalkan Samudra sendirian di sekolah, di antara hujan, tanpa kendaraan.
Ia ingin memberitahu orang rumah untuk menjemputnya yang terjebak di sekolah, namun dia berpikir. Ayahnya sedang bekerja sekarang--ia pasti belum pulang, Ibunya tidak bisa mengendarai sepeda motor atau kendaraan lain--bahkan sepeda jika kamu ingin tahu, hanya ada saudara kembarnya yang bisa menolong--namun ingin ditaruh di mana muka Samudra? Persaingan antar dirinya dan saudara kembarnya begitu membara.
Lebih baik jakun yang ada di lehernya dihisap oleh lumba-lumba daripada harus meminta bantuan musuh dalam keluarganya. Sekarang ia hanya bisa diam, merenungi segala hal yang tidak penting, dan mengadahkan tangannya di bawah tetesan air hujan dari genting sekolahnya, seperti anak kecil.
"Enggak pulang?" Suara perempuan mengagetkannya.
Laki-laki yang tangannya sedari tadi memainkan air hujan berhenti. Dia diam sesaat, memperhatikan perempuan berjerawat itu. "Enggak. Hujan. Saya juga nggak bawa motor." Samudra memperhatikan gadis itu, badannya sedikit gemuk, rambutnya hitam terkucir, pipinya tembam dan matanya--sembab, masih ada sisa-sia air mata di sana--tidak terlihat.
"Aku bawa payung. Mau bareng?" Perempuan itu membuka payung birunya.
Samudra tersenyum. Menatap perempuan itu. "Sini payungnya." Samudra menjulurkan tangan. "Biar saya yang bawa."
Gadis itu tersenyum kecil, memberikan payung birunya, menyeka sisa air di matanya. Mereka berjalan bersama di antara air yang turun bergantian di bawah lindungan sang payung, menuju halte yang jaraknya sedikit lebih jauh daripada halte depan sekolahnya.
Senyap. Hanya suara hujan.
"Samudra." Ia menghentikan suara rintik hujan di jalanan. "Nama kamu?"
Gadis itu diam sejenak. Mencerna. "Bulan."
"Cantik." Samudra tersenyum, masih mengenggam payungnya.
Bulan memalingkan wajahnya.
"Kamu anak angkatan baru?"
Perempuan itu menoleh ke arahnya, menggeleng. "Kita 'kan di angkatan yang sama."
Samudra tidak tahu itu. "Serius? Saya belum pernah ngeliat kamu sebelumnya."
Bulan hanya tertawa kikuk kecil.
"Saya pikir kamu anak baru, soalnya enggak pernah keliatan, sih."
Lagi-lagi Bulan hanya diam, membiarkan hujan turun semakin deras dan membuat suara air itu terdengar nyaring di telinga Samudra. Hening, kebingungan.
"Padahal masih bulan Juli, ya?" Samudra merendahkan kepalanya menoleh ke Bulan. Mencoba menghangatkan diri dengan perempuan itu. "Tapi hujan udah turun deras."
"Mungkin hujan kangen."
"Kangen?"
Bulan tertawa, wajahnya yang basah terkena cipratan air hujan membuat pipinya seperti sebuah apel yang telah disiram--basah, besar dan merah. "Iya. Kangen membuat bahagia bumi lagi. Rasa kangen itu kayak pilek, ketika udah terobati, rasanya lega."
Samudra terus menggenggam payung biru itu dan tetap berjalan dibawahnya.
"Kamu lagi kangen sama seseorang?"
"Banget."
"Siapa?" tanya Samudra.
"Ayah."
"Karena?"
"Aku belum pernah lihat dia, jadi aku kangen aja." Matanya tersenyum ke arah Samudra. Samudra kebingungan. "Kamu?"
"Sama."
"Ayah juga?"
"Iya."
"Kamu juga belum pernah lihat Ayah kamu?" katanya, suara hujan masih terdengar di antaranya.
"Bukan." Jauh lebih dari itu.
"Lantas?"
"Cuman kangen. Saya enggak ngerti." Samudra tertawa. "Maaf, ya, terkadang saya bisa setolol itu." Mereka masih berjalan di antara hujan.
"Kamu lucu."
Mereka terus berbicara, mengobrol layaknya teman akrab, dan tertawa karena hal-hal lucu, laki-laki itu jauh melihat ke jalan raya yang sunyi, hanya beberapa kendaraan yang melewati mereka. Berhenti kemudian, menunggu bus yang melewati rumahnya.
Akhirnya bus itu datang. Memutuskan kata-kata mereka. Rasanya aneh bagi Samudra, ia ingin pulang, namun jiwanya ingin tetap di sana--berbincang bersama perempuan berseragam sama dengannya yang telah berbagi payung biru muda tersebut.
"Makasih, ya." Samudra mencoba mengingat namanya.
Gadis itu hanya mengangguk. Tersenyum padanya sebelum ia menaiki bus.
"Jangan nangis lagi kayak tadi."
Samudra duduk di dekat jendela, ia melihat ke arah luar, sang gadis sudah berjalan, begitu indah dan begitu ajaib rasanya.
Dia memang tidak cantik, tidak secantik artis di televisi atau Cahaya--teman perempuannya. Namun Samudra tidak tahu apa yang sedang terjadi. Yang ia tahu, namanya Bulan.
***
a.n
selamat berbuka puasa bagi yang menjalankannya. Semoga puasanya lancar, ya, Sayang.
Salam,
Seseorang yang Tak Perlu Kamu Hiraukan
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat Cantik
Teen FictionROMAN - FIKSI REMAJA | Hidup Bulan mungkin saja akan bahagia jika dia terlahir sebagai orang berada, cantik, wajahnya tidak berjerawat, dan badannya tidak besar seperti kuda nil yang selalu laki-laki itu katakan padanya, Gemintang. Memangnya kenapa...