06 • Samudra Dan Kilauannya Itu

18K 3K 348
                                    

"Masih sakit lututnya?" Samudra mengawasi gadis besar dan berjerawat yang sekarang terduduk di ranjang ruang kesehatan sekolahnya.

"Udah mendingan, kok." Bulan mencoba bergerak, menurunkan kakinya ke lantai, namun terlihat dari bahasanya bahwa ia tidak benar-benar baik--meringis. Dan saat itu juga ia hampir terjatuh dari kasur empuknya.

Refleks, Samudra memegangi lengannya. "Jangan gerak dulu kalau masih sakit." Samudra panik. Bulan mengangguk dan tersenyum. Samudra ikut tersenyum kala melihat mata dan senyumannya.

"Yo, ini lukanya enggak di perban aja? Gue takut darahnya berceceran, Yo."

Romeo yang sedang merapihkan kotak obat-obatan itu menoleh. "Malah lebih bagus kalau dibiarian kering, Dra, diusap-usap aja biar darahnya enggak kemana-mana."

"Serius?"

"Lo ngeraguin dokter Romeo? Cuman masalah luka gitu aja masa enggak tau, sih?" Romeo mendengkus. "Makanya jangan pacaran terus."

Samudra tidak terima. "Siapa? Lo sama Ratna?"

Romeo terdiam, mengatai Samudra yang tidak-tidak. Samudra terkekeh, sahabatnya itu memang lucu--Romeo dan Ratna terjebak dalam hubungan pertemanan sejak lama. Samudra selalu bisa mengolok-olok Romeo dengan itu.

Samudra kembali fokus, ia mendengar suara gadis yang hampir setengah jam barusan pingsan. Bulan menanyakan tentang kejadian sepulang sekolah, bagaimana bisa ia pingsan, apa yang ia tidak tahu, dan ada apa dengan Gemintang. Namun Samudra tidak ingin membahas itu semua, ia memberikan teh hangat yang sudah ia buat pada Bulan. "Minum dulu, supaya mendingan." Bulan mengiyakan.

Kemudian Ratna datang, Romeo mulai menjahili Ratna seperti biasa. Tetapi setelahnya, Ratna marah-marah pada Romeo, mengapa lutut Bulan tidak diperban? Bagaimana bisa Romeo sebagai anak PMR dan yang katanya dokter itu tidak tahu tentang baiknya perban untuk luka?

Samudra menang telak. Ia tertawa melihat Romeo yang selalu sok tahu dan pertengkaran dia dengan Ratna.

"Terimakasih,"

Samudra menoleh ke sumber suara. Ia memastikan. "Kenapa?"

Bulan diam. Tidak mau menjawab. Meski Samudra tahu ia bisa mendengarnya barusan. Samudra tersenyum, lagi. "Hati-hati jalannya nanti."

Bulan mengangguk, lucu. Samudra ingin tertawa.

...

Perempuan berbando biru yang duduk di kursi depan salah satu kelas akhirnya tersenyum kala melihat pemuda yang ia tunggu sejak tadi menghampirinya. Ia lega. "Lama banget sih kamu."

"Maaf, ya." Samudra mengelus lembut pucuk kepala gadisnya itu. "Lagian kenapa kamu enggak ikut aja?"

Cahaya mulai manja. Samudra baru mengetahui sifat manja kekasihnya itu saat mereka sudah berpacaran. Sebetulnya ia agak risih, namun apa boleh buat? Samudra sayang Aya. Meski tidak ada seorangpun yang tahu.

"Kamu tahu kan aku takut darah? Kalau aku pingsan, nanti kamu gotong aku terus sok ngasih nafas buatan. Padahal itu semua biar kamu bisa nyium sama pegang-pegang aku 'kan?" katanya.

Samudra menggeleng. Ada-ada saja memang pacarnya itu sejak kelas satu. "Aku pria terhormat, ya. Kalau aku mau, aku bisa aja lakuin itu sekarang, saat kamu sadar. Seiizin kamu."

Aya melotot.

"Tapi, aku nggak mau ngotorin ibu dari anak-anakku nanti."

Gadis itu kebingungan. Ia tersenyum, Samudra tertawa. Dia mencubit sang pria, di perutnya. Samudra mengaduh. Mereka tertawa bersama. Mesra sekali.

"Gemintang gimana?" tanya sang gadis tiba-tiba.

Kemudian hening. "Aku enggak tau."

"Enggak tau gimana? Kamu kan kakak. Saudara kembarnya."

Samudra bernapas. "Aku enggak tau, Ya. Mungkin dia bakal dilaporin ke polisi, masuk penjara, selama sepuluh tahun? Tapi yang pasti dia akan kena skors sekolah."

"Padahal apa yang dia lakukin heroik banget, loh. Nolongin Bulan."

"Tapi enggak pakai nonjokin orang sampai berdarah-darah, juga bisa 'kan, Ya?"

"Iya."

"Aku enggak ngerti lagi sama jalan pikiran tuh bocah!" Samudra kesal. Ia bernapas cepat, matanya memandangi langit-langit ruangan, bersenderan di salah satu meja.

"Yaudah, yuk pulang, udah sore."

Tangan laki-laki itu ditarik. Terkait oleh jari-jemari lembut dan halus bagai pantat bayi. Samudra dan Aya keluar dari kelas. Berjalan. Namun Samudra melepaskan genggaman sang gadis.

"Ini masih di sekolah, Ya. Bisa nggak kita biasa aja?"

"Kamu masih enggak mau semua orang tahu kalau aku perempuan kamu? Lagipula sekarang udah sepi, Samudra. Enggak ada yang akan ngelihat kita."

Samudra tidak ingin ada yang tahu. Tentang hubungannya, tentang statusnya. Ia hanya ingin hidupnya terjaga, pribadi. Bukan urusan orang lain. Mereka juga tidak akan peduli tentang ia dan Aya. Jadi untuk apa? Pastinya mereka hanya bergosip saja jika tahu. Dan Samudra tidak ingin mendengar suara-suara itu. Biarkan ia tenang dan damai.

"Masih ada Romeo, Ratna, Bulan dan yang lainnya di sini, Ya. Aku enggak mau mereka tahu."

Aya menggeleng. "Kenapa sih, Dra? Kamu malu? Kamu malu punya pacar jelek?"

Samudra tak percaya mendengarnya. Aya terlalu berlebihan, sungguh. "Kata siapa aku malu? Kata siapa kamu jelek, Sayang?"

"Kamu cuman manggil aku sayang kalau aku lagi marah doang. Apa aku harus marah terus biar bisa dipanggil sayang?"

"Mungkin. Tapi aku sayang sama kamu, Ya." Samudra menatap mata pacarnya, dalam. Ia menggeleng.

"Kalau kamu jelek, aku enggak mungkin suka sama kamu," katanya. Samudra memang hanya laki-laki biasa.

...

Tadinya cerita ini bakal bercerita dari tiga sudut pandang tokoh utamanya. Tapi enggak tahu kenapa, kalau seperti itu si Bulan enggak bakal dapat peran dan bergerak maju. (Soalnya saya kesal sendiri sama Bulan, dia diam-diam saja walau diolok-olok--meski dia diam karena dia enggak mau nyari masalah lainnya. Ngopi apa ngopi).

Jadi kemungkinan sudut pandang Bulan akan lebih dominan untuk berikutnya. Mungkin juga karena saya laki-laki, jadi bercerita pakai sudut pandangnya Samudra dan Gemintang lebih ngalir, sehingga Bulan terpinggirkan.

Terimakasih sudah membaca cerita ini.

Salam,

Penulis Amatir yang Sukanya Memberi Harapan.

Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang