23 • Gemintang Tidak Pernah Bersinar, Katanya

11.1K 1.7K 104
                                    

"Kamu enggak capek dihukum terus?"

"Kata siapa saya enggak capek?" Gemintang masih mengepel kamar mandi di sekolahnya. Langit mulai berubah menjadi oranye.

"Kalau begitu, bisa berhenti buat keributan?" katanya.

Gemintang berhenti mengepel lantai yang basah. "Bu Dini yang saya sayang ... saya enggak pernah buat keributan kalau ibu mau tahu, dan saya juga enggak mau kok buat keributan."

"Gemintang yang saya sayang juga...." Ibu Dini ikut-ikutan. Gemintang tersenyum. "Kalau kamu enggak pernah buat keributan, lantas yang tadi apa? Perempuan-perempuan yang berkelahi barusan apa? Lalu yang kemarin-kemarin?--saat kamu berkelahi dengan anak sekolah lain, saat kamu ngerjain anak lain--terutama Bulan, apa? Cuman lawakan?"

"Mereka yang mencari keributan. Gadis-gadis itu yang memperebutkan perhatian saya--lagipula saya 'kan memang tampan, enggak perlu heran. Lalu ketika saya berantem juga, anak sekolah lain yang memulai perkaranya. Bukan saya. Saya cuman mau bela teman saya doang, itu saja. Dan Bulan, aduh, kita ini teman sebangku--teman. Saya hanya korban dari ketidakadilan di sini!"

"Tahu apa kamu soal ketidakadilan?"

Banyak. Gemintang tahu banyak sekali. Ketika orang lain mendapatkan rasanya disayang dengan mudah, Ia harus mencarinya dengan susah payah. Tidak adil, bukan?

"Ibu tahu sesuatu?" tanya Gemintang membuka kalimatnya.

"Apa?"

"Hari ini Bunda saya ulangtahun."

"Kamu manggilnya Bunda?'' Wanita itu tertawa. Lucu juga laki-laki yang satu ini.

Gemintang hanya mengangguk, tersenyum lesu.

"Kamu ingat juga dengan ulangtahun ibu kamu sendiri? Kok saya terkejut, ya?"

Gemintang berjongkok memeras kain pel yang sudah ia basahi. Sinar matahari sore menjadi pemandangan terindah. "Ibu tahu kado apa yang bisa bikin Bunda sayang sama saya?"

...

"Bukan nilai dari sesuatu hal yang kamu berikan. Tapi makna dibaliknya--sesuatu yang dari hati akan tersampaikan pada hati yang lainnya tahu," katanya manis sekali.

Gemintang bisa melihat wajah manis gurunya itu. Dia bilang, daripada membelikan sesuatu pada bundanya, lebih baik membuat sesuatu itu 'kan? Itu akan lebih berarti daripada membeli barang di toko lalu hilang entah kemana. Sebuah perjuangan, tugas laki-laki memang harus berjuang, bukan? Entah untuk sang istri, anaknya, atau siapapun itu. Gemintang berpikir apa, sih?

Dia harus menyelesaikan bolu cokelat ini cepat. Sebelum Ayah pulang saat hampir tengah malam dan mengacaukan hari ini--ulangtahun Bunda.

"Kamu itu bandel, tapi kadang, kamu bisa jadi hangat juga, ya?" Ibu Dini cekikikan kala membantu Gemintang membuat kue untuk bundanya di dapur sang guru. "Dasar remaja puber!"

Angkasa mulai menghitam, meski bulan masih belum terlihat. Gemintang tidak sadar ia sudah berada di rumah gurunya hampir dua jam sejak sore. Masalahnya, hujan mulai turun--gerimis, hawa menjadi dingin. Hanya kompor yang membuatnya hangat, senyum Ibu Dini juga termasuk.

"Kamu sayang banget sama ibu kamu?"

Gemintang tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Dia tahu jawabannya--pasti. "Tapi perempuan itu enggak sayang saya."

"Tahu darimana?"

"Perasaan enggak pernah bohong."

"Semua ibu sayang anaknya tahu. Apapun kondisinya." Ibu Dini melihat ke arah luar jendela dapur. Menikmati gerimis sekarang. "Kalaupun Ibu kamu enggak sayang sama kamu, masih banyak yang sayang sama kamu pastinya."

Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang