Pada akhirnya segalanya berakhir di lapangan sekolah dengan sapu di genggaman tangan. Anak laki-laki itu menyapu lapangan yang dijatuhi banyak daun kering dari atas sana--pohon-pohon di sekeliling sekolahnya.
"Nyapunya yang bener!" teriak guru perempuan tercantik yang pernah laki-laki itu temukan pada semua yang berdiri di lapangan. "Enggak semua hal bakal selesai dengan kekerasan," katanya.
Yang lainnya mengeluh di bawah panas matahari pagi.
"Panas, Bu!"
"Saya 'kan enggak ikut-ikutan berantem."
"Aduh, capek, haus, mau minum...."
Namun Ibu Dini hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Gemintang masih terus menyapu, mengumpulkan daun-daun itu di satu tempat meski sedari tadi Shania menganggu segalanya dengan menempel di lengan Gemintang terus menerus. Seperti sisa makanan di sela-sela gigi buaya, burung itu mencoba menghilangkannya.
"Shania! Ngapain kamu nemplok di badan Gemintang terus? Kayak cicak aja."
"Saya 'kan pacarnya, enggak masalah dong, Bu Dini?"
"Masalahnya sekarang, kamu juga lagi dihukum, bukannya malah nempel di badan pacar kamu itu," jawabnya. "Lepas, atau hukuman kamu bersih-bersih lapangan ditambah seminggu lagi?!"
Shania menyoraki wanita dewasa itu--melepaskan genggamannya yang terus berada di badan Gemintang dan pergi meninggalkannya. Anak laki-laki itu tersenyum, melanjutkan hukumannya yang akan berlangsung selama tiga hari--khusus untuk dirinya, Bulan, Cahaya, Samudra, Shania dan semua yang berkelahi di kelas barusan--namun yang lainnya cukup satu hari saja, wow. Ah, Gemintang seperti sudah kebal dengan hukuman seperti ini, apa tidak ada yang lebih mengerikan lagi?
"Besok jangan lupa bersihin sekolah lagi." Ibu Dini mendekat pada Gemintang, dia memberikan sebotol minuman.
Gemintang tersenyum lagi. Daun-daun jatuh dan menari di atasnya, menembus pohon, senyuman Ibu Dini tiba-tiba datang dan mendinginkan hatinya.
"Kadang salah satu cara terakhir supaya orang-orang mengerti itu dengan kekerasan."
Gemintang mendengarkan--meminum air yang gurunya paling sayang berikan--memperhatikan wajahnya.
"Tapi kekerasan enggak pernah menyelesaikan masalah, kamu tahu?"
"Kata siapa? Buktinya mereka paham. Enggak ada yang berantem lagi, 'kan?"
"Tahu darimana? Kelihatannya sih begitu, tapi hati seseorang siapa yang tahu? Memangnya kamu tahu apa isi hati saya?"
"Tahu."
"Apa?"
"Saya." Gemintang melebarkan senyumannya--menunjukkan gigi. Seperti anak kecil, Ibu Dini siap menjitak kepalanya.
"Kamu bilang apa?!"
"Masa saya ulangin lagi? Nggak mau ah."
"Ulang!" Ibu Dini mencubit perut Gemintang. Gemintang mengaduh dan terpaksa.
"Saya tahu isi hati Ibu, di sana cuman ada saya."
Seketika Ibu Dini menepuk pantat Gemintang dengan keras. Gemintang mengaduh, memegangi pantatnya yang terasa panas, astaga dia baru sadar bahwa Ibu Dini adalah guru olahraga.
Dan pada akhirnya, hukuman Gemintang berubah menjadi lompat kodok di tempat. Mantap sekali.
"Berani-beraninya godain guru."
"Ibu sendiri yang mancing."
"Saya cuman enggak mau kamu bereaksi sesuka ego kamu, kamu bisa pikir baik-baik sebelum bertindak," katanya. "Saya nggak mau kamu punya masalah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat Cantik
Ficção AdolescenteROMAN - FIKSI REMAJA | Hidup Bulan mungkin saja akan bahagia jika dia terlahir sebagai orang berada, cantik, wajahnya tidak berjerawat, dan badannya tidak besar seperti kuda nil yang selalu laki-laki itu katakan padanya, Gemintang. Memangnya kenapa...