Tidak seperti pohon besar yang ia naungi saat ini, hati pemuda itu tidak lagi dingin, terlalu panas hingga rasanya terus membakar ruangan di hatinya--itupun jika ia sadar bahwa ada hati di dalam sana.
Ia menunggu kekasihnya--lama sekali. Mau pulang ke rumah, mau berbicara padanya. Membicarakan bahwa ia harus berhenti membuat teman-temannya itu agar tidak melukai sahabat mereka sendiri. Dia tidak mau melihat Cahaya tidak peduli dengan orang lain, karena dia perempuannya. Dia enggak mau orang yang ia cinta diam saja, tidak peduli pada orang lain. Samudra cuman mau melihat semua orang bahagia. Itu saja. Mengapa rasanya sulit sekali?
Terus memperhatikan jam, melirik pagar sekolah kembali, matanya menyipit akibat panas matahari--terus menunggu sampai tidak ada tawa teman-temannya yang makan bakso di depan sekolah, terus menunggu sampai teman-temannya menaiki kendaraan bersama orangtua mereka masing-masing. Samudra masih menunggu kekasihnya--cinta pertamanya.
Hingga seorang gadis yang kuat, yang tidak pernah membalas semua perbuatan orang lain padanya, yang membuat Samudra terus mengawasi dan menyukainya karena kecantikannya itu, melewati gerbang sekolah, ia memanggil.
"Bulan!"
Tidak ada sahutan sama sekali. Gadis itu tidak mau melihat Samudra bahkan sedetik saja.
Sang pemuda terkejut melihat rambut Bulan yang berantakan, seragam yang keluar dari roknya dengan kancing yang sudah lepas, sampai badannya yang basah. Apa dia habis membersihkans selokan di depan sekolah atau apa? Apa teman-temannya--sahabat-sahabat Cahaya mengerjainya lagi? Mengapa?
"Bulan?"
Lagi, tidak ada jawaban apalagi senyuman seperti biasanya.
Hingga ia melihat wajah yang tertutup itu sedari tadi, menampakan merah di pipi dan bibir yang terluka--setitik darah keluar dari sana--belum mengering sempurna.
Laki-laki itu menarik bahu Bulan, mencoba memperhatikan luka itu sekali lagi. Mencoba bertanya dengan wajahnya, dengan ekspresinya, ada apa? Yang ditatap tidak mau berlama-lama, ia mau berjalan pergi dari hadapan Samudra, menepuk lengan yang memegangi bahu sang gadis.
Samudra menahan gadis ini--mengenggam lengannya, tidak membiarkan perempuan itu pergi tanpa jawaban yang jelas akan pertanyaannya.
"Bulan!" Cengkramannya menarik gadis itu agar tidak pergi kemana pun. "Siapa?!"
Bulan masih enggan menjawab. Ia menutupi rahasianya rapat-rapat. Samudra yang gemas masih mengenggam bahu si gadis--menggoyang-goyangkan tubuhnya seperti televisi yang tidak mendapat sinyal hingga tidak memunculkan layar. Samudra butuh jawaban. Dia muak kalau begini--selalu.
"BULAN?!"
Terus bertanya, meski tahu jawabannya.
"BISA BIARIN AKU PULANG, SAMUDRA?!" Dia mengayunkan cengkraman laki-laki itu. "Bisa biarin aku pulang?" Suaranya pelan. Air mata itu keluar setelahnya.
"TAPI KAMU KENAPA, LAN?!" tanyanya. "Kamu dikerjain lagi sama teman-teman kamu? Teman-teman Aya?" Samudra kesal. "Jawab, Lan?"
Bulan mengusap air di matanya. "Kamu bisa enggak, sih, enggak usah peduli sama aku lagi, Dra? BISA JAUHIN AKU, DRA?! BISA PERGI DARI HIDUP AKU, SAMUDRA?!"
Samudra terperanjat bukan main. Ini pertama kalinya ia melihat gadis yang selalu ia lihat kuat menjadi seperti ini, membentaknya, menyuruhnya pergi.
"Kamu kenapa, Lan?" Samudra masih mencoba tenang. Mencoba membuat lebih baik perempuan di depannya. "Aku manusia, Lan. Aku punya hati. Aku enggak bisa enggak peduli sama siapapun. Termasuk kamu. Siapapun itu, Lan," lanjutnya. "Jadi jawab pertanyaan aku, kamu kenapa? Siapa yang lakuin ini sama kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat Cantik
Fiksi RemajaROMAN - FIKSI REMAJA | Hidup Bulan mungkin saja akan bahagia jika dia terlahir sebagai orang berada, cantik, wajahnya tidak berjerawat, dan badannya tidak besar seperti kuda nil yang selalu laki-laki itu katakan padanya, Gemintang. Memangnya kenapa...