CH - 27

568 93 4
                                    

________

____

__

Melihat banyak kerumunan anak-anak, nyali Jimin sedikit ciut. Dia tidak pernah datang ke sekolah publik. Ini pertama kali bagi Jimin. Sojun, ayahnya, memutuskan untuk membuat Jimin bersosialisasi dengan anak seumurannya. Namun karena sejak awal Jimin bersekolah di rumah, dia sulit beradaptasi dengan dunia luar.

Hanya beberapa langkah dia dapat masuk ke kelasnya. Namun dia menatap ibunya, seakan memohon untuk membawanya pergi dari sana. Yui yang melihat wajah anaknya seperti itu jadi kasihan. Sayangnya dia tidak bisa berbuat banyak karena Sojun memiliki sifat yang keras. Sojun paling tidak suka orang yang penakut dan bernyali ciut. Maka itu dia mengajar anaknya untuk tetap berani dalam situasi apapun. Tapi Jimin hanyalah anak berumur tujuh tahun.

Yui menyejajarkan wajahnya dengan Jimin. "Jiminie, hanya beberapa jam saja oke? Setelah itu appa dan eomma akan menjemputmu. Hm?" Kalimat manis Yui tidak membuat Jimin merasa tenang. Dia tetap ingin pulang. "Tidak bisa kah aku belajar di rumah seperti biasa?" Jimin memohon.

Belum sempat Yui menjawab, Sojun turun dari mobil karena merasa terlalu lama. Dia pikir Jimin telah masuk ke kelas seperti perintah, ternyata dia masih dengan Yui. "Jimin, masuk sekarang juga." Tatapan Sojun membuat Jimin mengeratkan genggamannya pada tangan Yui. Ayahnya itu bisa sebaik malaikat, namun saat marah seramnya seperti iblis.

Yui menatap suaminya itu dan membisikkan sesuatu yang tidak dapat Jimin dengar. Dia hanya berharap ayahnya dapat dibujuk. Lalu dia dapat kembali belajar di rumah. Jimin tidak masalah jika disuruh belajar seharian. Menurutnya itu lebih baik daripada berada di kerumunan orang yang tidak dia kenal.

Namun tidak seperti yang diinginkan, Sojun malah menarik Jimin dari Yui. Lalu menariknya untuk masuk ke kelas. "Appa, jangan!" Jimin merengek, memeluk erat tubuh Sojun agar tidak dilepas dan ditinggal. Karena itu, mereka jadi pusat perhatian. Para guru disana pun menghampiri mereka dan mencoba untuk membantu.

Jimin mulai menangis saat guru menarik tubuhnya lepas dari Sojun. Dia menatap Sojun dan Yui, berharap mereka berubah pikiran jika melihatnya menangis. Namun Sojun mencegah Yui untuk memeluk Jimin, karena tahu bahwa Jimin akan susah lepas. Melihat orang tuanya yang ingin pergi, Jimin meneriakkan sebuah kalimat. "Aku takut!!!"

Kalimat yang menurut semua orang normal untuk dikatakan manusia, tanpa Jimin ketahui dapat membangkitkan sisi gelap ayahnya. Mendengar kalimat itu diteriakkan dari mulut Jimin, Sojun menghampirinya kembali. Dia berbicara sesuatu kepada gurunya, tentang Jimin yang akan datang lagi besok. Disana Jimin sedikit lega, karena artinya dia akan dibawa pulang.

Benar, dia memang dibawa pulang. Namun sampai di rumah, ayahnya langsung menarik Jimin ke dalam kamar. Berniat untuk menghukum Jimin, yaitu dengan menyabetnya menggunakan satu lidi. Tapi menurut Yui, suaminya keterlaluan dan terlalu keras terhadap Jimin. Sehingga Yui menutupi Jimin, dan dirinya yang terkena sabetan lidi. 

Tidak begitu sakit bagi Yui, karena hanya sebuah lidi. Namun bagi Jimin yang baru berusia tujuh tahun, sebuah lidi adalah benda yang sangat berbahaya. Jimin menangis kencang ketika melihat ibunya terkena sabetan, hanya untuk membela dirinya. 

Yui langsung memeluk Jimin erat, karena dia pikir Jimin ketakutan. Dia menatap suaminya yang masih memegang sebuah lidi. "Tidakkah kau terlalu keras kepada Jimin???"

Sojun menghela napas karena tingkah Yui yang menurutnya sangat memanjakan Jimin. "Keras? Justru di umurnya yang sekarang, harus diajarkan kerasnya hidup." 

"Tapi dia baru berusia tujuh tahun!" Yui muak dengan tingkah Sojun yang selalu membuat putranya takut. 

"Aku hanya tidak ingin Jimin tumbuh menjadi pria yang manja dan pengecut. Aku bersikap tegas demi kebaikannya!" Sojun melempar lidi yang dia pegang ke sembarang arah.

Did You Know?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang