________
____
__
Seulgi's POV
Hari ini adalah hari yang pernah terjadi sebelumnya dalam hidupku. Dulu, aku melakukannya dengan berat hati. Melangkah masuk ke aula dengan langkah gundah, mata yang tidak berbinar, dan hati yang suntuk. Kalau dibandingkan dengan sekarang, aku sadar betapa konyolnya takdir. Siapa sangka aku menikahi pria yang sama, dengan perasaan yang jauh berbeda?
Hari ini tidak seperti dulu lagi. Aku menikah karena aku bersedia. Bukan karena keadaan yang memaksa, atau pun jalan buntu yang tidak memberi pilihan.
Kali ini aku melangkah dengan senyum terlebar yang pernah aku lukiskan. Memasuki aula dengan hati yang berbunga-bunga, perut yang dipenuhi kupu-kupu, serta euforia yang tak dapat dijelaskan. Aku bahagia.
Sangat.
Dan jauh berkali-kali lipat ketika melihat Jimin di hadapanku. Memakai jas yang sama persis saat kita menikah tiga tahun lalu. Perbedaannya sama denganku. Kali ini tatapannya tulus, bukan karena rasa bersalah. Kali ini senyumnya tak dapat ditahan, bukan senyum palsu karena perasaan tanggung jawab.
Aku yakin banyak saksi dalam sejarah pernikahan kami. Sejarah yang mengisahkan sebuah tragedi. Melahirkan seribu luka. Menghasilkan tawa dan air mata. Namun pada akhirnya, semua itu terekam pada sejarah yang sudah berlalu. Saat ini, semua itu hanya sekedar memori yang dijadikan pelajaran agar tidak terulang kembali.
Kalimat sumpah pernikahan yang dikeluarkan pendeta untuk diikuti, membuat telingaku menjadi seratus kali lebih fokus. Jantungku berdegup bukan karena takut, tapi gugup. Seperti pasangan normal lainnya saat melakukan proses ini.
Rasanya tiap detik berjalan dengan lambat. Seolah mengingatkan bahwa saat ini adalah saat dimana waktu berjalan lebih lama. Membiarkan dua insan Tuhan yang saling mencintai menikmati suasana.
Aku hanya memperhatikan mulut Jimin yang terbuka untuk menyampaikan kalimat yang harus disampaikan. Kata per kata, huruf per huruf, dikatakan dengan jelas. Sampai tiba dimana saatnya kalimat penentuan berbunyi.
"Aku bersedia."
Suara tepuk tangan menggelegar dari seluruh sudut ruangan aula. Namun telingaku seakan berdengung. Terus memutar-mutar kalimat penentuan yang baru saja Jimin ucapkan.
Perlahan Jimin mengangkat tanganku. Menyematkan cincin dengan berlian kecil di jemari manisku. Lalu aku pun melakukan sebaliknya. Tepat setelah itu suara sang pendeta mengisi seluruh ruangan. Mengucapkan kalimat yang menjadi bukti, bahwa aku dan Jimin telah sah, menjadi pasangan yang diberkahi Tuhan.
Terikat. Kini aku dan Jimin terikat kembali dalam pernikahan. Pernikahan kedua yang kami lakukan. Dan aku berharap tidak akan berakhir sama seperti yang pertama. Aku harap takdir akan lebih mengampuni kami kali ini.
Jimin menatapku. Lalu perlahan mendekatkan mulutnya di telingaku.
"Kenapa kau masih bisa menerimaku?" Bisiknya.
Pertanyaan yang tiba-tiba. Aku tidak langsung menjawab, karena tidak pernah terpikir akan jawabannya. Kenapa aku masih bisa menerima seorang Jimin di hidupku? Padahal tidak memungkinkan bahwa segala pembuktian yang dia lakukan, akan membuatnya menjadi seratus persen tidak menyakitiku.
Namun dengan samar, otakku menggambarkan jawabannya. Jimin dengan segala sikap yang dia punya, aku telah melihatnya. Dia telah menunjukkan semua kelebihan dan kekurangannya padaku. Karena gambaran-gambaran itu, aku menemukan jawaban yang tepat.
Aku pun menatap Jimin sekilas, yang sedang menunggu jawabanku. Senyumku perlahan membentuk. Aku balik berbisik di samping telinganya.
Membisikkan satu-satunya alasan yang menjawab kenapa aku masih bisa menerima keparat ini.
"Karena semua kelebihan dan kekuranganmu, aku terlanjur mencintainya."
________
____
__
KAMU SEDANG MEMBACA
Did You Know?
FanfictionJimin dan Seulgi bukanlah teman, kolega, atau apapun itu. Mereka tidak terikat hubungan apapun, hanya sebatas orang asing yang bertemu di bar pada malam yang sama. Malam itu, kecelakaan yang tidak diinginkan terjadi disebabkan oleh rasa mabuk yang t...