________
____
__
Berdiri di dalam lift, menunggu pintu terbuka dan Seulgi akan memberitahu sebuah berita kepada Jimin. Tidak bisa berbohong, gerak-geriknya menunjukkan Seulgi sangat gugup. Tentu saja karena berita ini menyangkut kondisi Rose yang semakin memburuk. Dia juga khawatir kalau Jimin akan semakin stres, terkait dengan apa yang belakangan ini terjadi.
Tentunya pertama yang dilakukan adalah menarik napas dalam-dalam. Membuangnya. Menariknya lagi. Sampai detak jantung terkontrol. Sampai tubuh berhenti bersikap gugup. Seulgi harus sadar, semua ini bukan salahnya. Dia hanya menyampaikan pesan. Jadi untuk apa dia gugup?
Pintu lift terbuka dan Seulgi menghadap depan. Melangkah keluar dari ruangan kecil itu. Tidak perlu banyak langkah kaki untuk sampai ke ruangan Sojun. Jimin ternyata berada di depan pintu, menunggu Seulgi. Melihat seseorang datang dari sudut matanya, Jimin pun menoleh.
"Seulgi-ah." Senyum Jimin mengembang seiring langkah kaki Seulgi yang berjalan mendekat ke arah Jimin.
Jimin mengambil sebuah tas lumayan besar dari tangan Seulgi. "Kenapa membawa tas seberat ini sendirian? Mana Vernon?"
Seulgi menghela napas. Menurutnya dia masih sanggup membawa barang seberat itu. Tas yang dia pegang kan tidak seberat satu galon air. "Aku datang kesini sendiri. Sepertinya Vernon masih tertidur. Sudah lah, biarkan dia istirahat. Dia sudah kelelahan mengantarku kemarin malam."
"Tapi kan tetap saja, seenggaknya kau meneleponku agar aku bisa menjemputmu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu?" Tatapan Jimin tersirat rasa kesal. Melihat itu Seulgi langsung tahu, bahwa suasana hati Jimin sedang buruk. Sudah dasarnya mudah terpancing emosi, lebih menjadi lagi sekarang.
Seulgi pun berusaha menjawab sehalus mungkin, sedang malas bertengkar. Apalagi mereka sedang berada di rumah sakit, di depan ruangan orang tua. "Baiklah, maafkan aku ya? Aku tidak memberitahumu. Aku hanya berpikir kau sudah cukup lelah, jadi aku tidak ingin mengganggu. Lagipula aku baik-baik saja tuh."
"Lain kali kau harus memberitahuku." Jawab Jimin dengan pandangan ke tas.
"Jangan khawatir. Aku hamil bukan berarti lumpuh." Pada akhirnya Seulgi tetap mengekspresikan apa yang sebenarnya dia pikirkan.
Jimin tidak menjawab, karena itu memang benar. Hanya melihat isi tas yang dibawa Seulgi. Isinya buah-buahan dan berbagai makanan kecil. "Terima kasih." Jimin memberi sekilas senyuman.
Seulgi pun mengangguk kecil. "Oh ya, apa kau akan pulang hari ini?"
"Mhm, aku rasa begitu. Eomma menyuruhku pulang. Dia akan menjaga appa malam ini, lalu besok giliranku." Jawab Jimin sambil kembali menutup tas di tangannya.
Hanya memandangi Jimin, Seulgi bingung bagaimana harus menyampaikan berita perihal kondisi Rose. Seulgi merasa suasana hati Jimin sedang di tahap dimana dia tidak dapat menerima hal buruk lagi. Apakah sekarang waktu yang tepat?
"Ada apa?" Tanya Jimin yang menangkap sorot mata Seulgi padanya.
"Ah? Tidak. Tidak ada apa-apa." Seulgi tersenyum untuk memastikan Jimin. Jimin memang terlihat ragu, karena dia juga tahu tipe-tipe orang bohong seperti apa. Namun dia pikir mungkin Seulgi memang tidak ingin mengungkitnya sekarang. Jadi dia biarkan.
"Ya sudah, ayo masuk."
________
____
__
"Jimin?" Panggil Seulgi begitu mereka memasuki rumah. Jimin yang dipanggil hanya menoleh, menunggu kalimat selanjutnya.
Padahal selama perjalanan pulang tadi, Seulgi sudah memantapkan diri untuk memberitahu Jimin saat sampai di rumah. Sekarang sudah masuk ke dalam rumah, nyali Seulgi kembali ciut. Apalagi melihat sorot mata Jimin. Dia tidak tega.
KAMU SEDANG MEMBACA
Did You Know?
FanfictionJimin dan Seulgi bukanlah teman, kolega, atau apapun itu. Mereka tidak terikat hubungan apapun, hanya sebatas orang asing yang bertemu di bar pada malam yang sama. Malam itu, kecelakaan yang tidak diinginkan terjadi disebabkan oleh rasa mabuk yang t...