CH - 29

566 95 23
                                    

________

____

__


Terdiam di dalam mobil. Sudah tiga puluh menit berlalu. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Jimin memang sudah arah pulang. Tapi dia berhenti di jembatan yang sudah sepi. Tidak ada pengendara atau kendaraan lain selain dirinya. 

Jimin melangkah keluar mobil dan mendekati pegangan jembatan. Menatap rembulan yang begitu terang di atas langit. Seakan menunjukkan bahwa dia jauh, sangat gelap di bawah sini. Tujuan Jimin berhenti di jembatan sepi, bukan untuk melakukan hal yang merugikan nyawa. Dia hanya ingin saja. Ada sesuatu tentang malam yang membuat Jimin merasa nyaman berada di dalamnya.

Karena segelap-gelapnya malam, ada yang terang yaitu bulan dan bintang. Dan sesunyi-sunyinya malam, ada angin yang berhembus dan mengingatkan kalau dia tidak sendirian. Tiba-tiba satu bintik air jatuh ke tangan Jimin. Lalu lama kelamaan turun percikan air yang lain sampai menjadi deras. Hujan. 

Ah... bukankah malam ini sangat lengkap?

Pas-pasan sekali, dia merasa ada begitu banyak kesalahan yang dia perbuat. Walaupun hujan tidak dapat menghapus semuanya, setidaknya Jimin merasa begitu. Setidaknya dia dapat merasa lebih baik.

Jimin mendongakkan wajah. Membiarkan rintik-rintik hujan jatuh ke wajahnya. Seperti tinjuan kecil dan ringan yang ditujukan kepadanya. Dia berharap dia dapat jatuh sakit. Karena dengan begitu, dia merasa telah mendapat hukuman atas semua perbuatan buruk yang dia lakukan. Namun sayangnya tidak semudah itu. Jimin pikir dia dapat bebas hanya karena jatuh sakit? Tidak ada bedanya dengan lari dari masalah.

Dan Jimin sendiri juga tahu hal itu.

Sejak selesai konsultasi sampai sekarang, kalimat Choi lah yang terus terngiang-ngiang. 

<>

"Jimin-ssi. Aku sadar posisiku tidak berhak ikut campur dalam urusan pribadimu. Namun coba bayangkan kalau kau di posisi istrimu. Apa yang akan kau lakukan saat kau dibohongi seperti ini?" Choi tersenyum, menunggu jawaban Jimin.

"Aku.. akan kecewa. Seperti dipermalukan." Jawab Jimin sambil menatap meja dengan tatapan kosong.

"Kalau begitu, tidak ada bedanya dengan istrimu. Apa kau mencintainya?" 

Kali ini Jimin terdiam lebih lama. Apakah dia mencintai Seulgi? Apakah rasa yang dia rasakan saat bersama Seulgi adalah cinta? Apakah masih atas dasar rasa kasihan seperti awal, atau cinta? Jimin tidak dapat menemukan jawabannya.

Seperti sudah tahu apa yang Jimin pikirkan, Choi melanjutkan kalimatnya lagi. "Baiklah. Coba katakan, apa yang kau rasakan sejak kau bersama istrimu?"

Jimin mulai mengingat memori-memorinya bersama Seulgi. Dari awal sampai sekarang. "Dia... selalu berhasil membuatku terkejut dengan tingkah lakunya. Tingkah lakunya yang sedikit kekanakan, namun entah kenapa aku suka melihatnya." Tanpa sadar Jimin tersenyum.

Lalu dia melanjutkan lagi. "Dia orang pertama yang membuatku mengalah untuk tidak berteguh pada keputusanku. Membuatku sadar untuk pertama kalinya, bahwa kalau aku benar, bukan berarti yang lain salah. Dia membuatku melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Selama ini aku selalu dalam duniaku yang begitu serius. Dan saat dia menunjukkan dunianya, hidupku seperti abu-abu di antara banyaknya warna. Dia mengenalkanku warna-warna lain dalam kehidupan, dan membuatku merasa bebas untuk pertama kalinya."

Choi pikir Jimin sudah selesai, namun Jimin menatapnya. "Choi-nim. Beritahu aku. Apakah ini disebut cinta? Karena yang aku rasakan sejak awal adalah rasa kasihan. Aku selalu merasa bersalah kepadanya. Namun dia selalu menunjukkan senyum, yang seakan menepis seluruh beban di pundakku."

Did You Know?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang