________
____
__
"Jimin lepas, aku mohon." Aku tidak bisa pergi karena Jimin menahan kakiku. Baru kali ini aku melihatnya menangis sampai mengesot di lantai seperti itu. Bahkan memohon-mohon di kakiku. Tapi sayangnya aku sudah membulatkan tekad. Aku ingin bercerai dan pergi. Tidak ada yang bisa mengubah pikiranku.
Akhirnya aku menghubungi Jungkook, dan minta tolong untuk menjemputku dari sini. Untung saja Jimin seperti tidak melupakan fakta bahwa aku sedang memegang ponsel.
Sambil menunggu, aku masih mencoba untuk melepas kakiku dari Jimin. Karena pergerakanku, dia mendongak lalu berdiri. Memegang kedua bahuku. Aku hanya menatapnya karena wajah Jimin sangat bengkak. Lebih bengkak dari yang sebelum-sebelumnya saat dia menangis.
"Seulgi. Kau akan pergi ke Kanada selama dua tahun, kan? Aku akan terus menunggumu untuk membuktikan perasaanku." Tatapan Jimin penuh komitmen. Tatapannya seakan berbicara bahwa dia benar-benar serius. Namun aku tetap tidak termakan. Bagaimana kalau itu hanya salah satu aktingnya saja? Aku tidak akan lupa seberapa manipulatifnya Jimin, sampai aku jatuh ke jebakannya berkali-kali.
"Jangan tunggu aku. Move on, Jimin. Kau juga punya kehidupan." Aku tidak ingin memberinya harapan palsu. Bagaimana kalau selama dua tahun itu, aku menyukai orang lain? Sedangkan dia hanya menungguku terus-menerus?
"Tidak, aku akan menunggumu."
"Memang kau yakin selama dua tahun itu, aku masih mencintaimu?" Aku bisa melihat pertanyaan yang satu ini membuat Jimin tidak bisa berkata-kata. Matanya berhenti di satu titik untuk berpikir. Seakan dia baru sadar akan kenyataan, bahwa perasaanku untuknya bisa berhenti kapan saja. Karena semuanya tidak kekal, begitu juga dengan perasaan.
Jimin pun menatap mataku lagi. Sepertinya dia sudah mendapat jawaban. "Tidak peduli. Karena perasaanku tidak akan berubah. Aku akan terus menunggumu, Kang Seulgi."
Kalimatnya terngiang-ngiang di telingaku. Terus terngiang membuat telingaku berdengung. Sangat dengung.
.
.
Ah... Aku bermimpi. Mimpi itu lagi. Beberapa bulan terakhir mimpi itu sering muncul. Padahal satu tahun di awal berjalan lancar-lancar saja. Namun sudah memasuki satu tahun setengah, pikiranku mulai bermain-main. Membuatku kesal.
Aku mengusap mataku untuk lebih terbuka, lalu meraih posisi duduk. Hari ini ada kelas pagi, jadi aku membuat alarm-ku berbunyi satu jam lebih awal. Aku matikan alarm-ku yang masih berbunyi lalu beranjak dari tempat tidur. Sepertinya Wendy masih tertidur. Karena lampu ruang tamu belum menyala.
Dengan langkah yang tertatih-tatih, aku melangkah menuju dapur untuk mengambil minum. Aku pun duduk. Sambil mengumpulkan nyawa, aku membuka ponselku untuk memeriksa apakah ada yang menghubungi. Benar saja. Eomma-ku mengirim pesan. Semenjak dia belajar menggunakan ponsel, dia benar-benar narsis. Tidak jauh berbeda dengan appa, namun appa berusaha stay cool.
Saat melihat pesan-pesannya, hanya seperti biasa. Bertukar kabar, mengirim selfie-selfie lucu, dan menggodaku dengan masakan rumah. Huft... Aku rindu rumah. Aku rindu mereka. Namun hanya sekitar lima bulan lagi aku bisa pulang. Karena itu aku juga sedang mengejar skripsi. Lebih cepat, lebih baik.
Selain itu, sebenarnya ada satu hal lagi. Sejak hari keberangkatanku ke Kanada, sampai sekarang, eomma mengirim foto Jimin. Bukan hanya foto biasa, namun foto setiap kali Jimin ke rumah. Dan tidak pernah sehari pun dia tidak datang. Sulit dipercaya, tapi itu kenyataannya. Aku bahkan kesulitan menghapus foto-foto itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Did You Know?
FanfictionJimin dan Seulgi bukanlah teman, kolega, atau apapun itu. Mereka tidak terikat hubungan apapun, hanya sebatas orang asing yang bertemu di bar pada malam yang sama. Malam itu, kecelakaan yang tidak diinginkan terjadi disebabkan oleh rasa mabuk yang t...