CH- 30

764 94 16
                                    

________

____

__

Sudah mencari di segala sudut, Yejun tidak menemukan satu obat pun. Aneh. Bukankah obat adalah salah satu persiapan terpenting? Lemari P3K hanya berisi plester luka. Lemari ruang tamu kebanyakan majalah bisnis. Sama sekali tidak ada obat demam, antibiotik, dan sebagainya.

Merasa tidak ada hasil mencari dari tadi, Yejun berlari kembali ke kamar. 

Saat membuka pintu, kedua orang itu langsung menatap padanya. Sepertinya Yejun masuk di waktu yang salah. Terlihat mereka sedang di tengah sesuatu. "Um.. Tidak ada obat di rumah ini. Aku hanya menemukan plester." Jelas Yejun.

"Ah.. aku jarang sakit sebelumnya." Jawab Jimin dengan suara yang sangat kecil. Sepertinya hanya Seulgi yang mendengar hal itu.

"Kalau begitu, aku akan pergi beli obat sebentar." Seulgi bangun dari posisi sujudnya. Namun tangannya ditahan Jimin. Pria itu menggeleng, seakan tidak ingin Seulgi pergi membeli obat.

Jimin juga terlihat ingin bicara, tapi suaranya tidak keluar. 

"Suaramu bahkan hilang." Seulgi melepas tangannya dari genggaman Jimin. "Kau tidak bisa menahanku untuk tidak membeli obat." 

Detik berikutnya Seulgi jalan keluar tanpa menunggu reaksi Jimin. Yejun pun hanya terdiam di ambang pintu. Tapi setelah mempertimbangkan, Yejun langsung menahan tangan Seulgi. "Karena noona sedang hamil dan hyung tidak ingin noona pergi, aku saja yang membeli obatnya." 

"Tidak, mana mungkin aku membiarkanmu pergi sendirian?" Seulgi menggeleng keras. 

Yejun menepuk dahinya. "Apa noona baru mengenalku kemarin? Aku sudah biasa pergi sendirian. Jangan khawatir."

"Tapi--"

"Uang harian ada di samping televisi kan? Baiklah aku akan kembali!" Yejun langsung berlari ke arah ruang tamu. Tidak membiarkan Seulgi menghentikannya. Jadi? Jimin berhasil menahan Seulgi untuk tidak membeli obat dan menemaninya. Dia harus memberitahu sesuatu. Dari tadi Seulgi tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan lebih.

Seulgi pun kembali ke dalam kamar. Ingin bersujud di lantai lagi, namun Jimin menarik tangannya. "Tidurlah di sampingku." Bisiknya. Tidak mood untuk membantah, Seulgi nurut saja. Dia naik ke kasur dan berbaring di samping Jimin. 

Jimin menyamping untuk menghadap Seulgi. Karena itu kain yang ada di dahinya jatuh. "Ah kan, kainnya jadi jatuh!" Seulgi mengomel. Lalu mengambil kainnya dan menaruhnya kembali di kepala Jimin. Tidak pas di dahi karena Jimin sedang menyamping, jadi pasti akan jatuh lagi.

Baru saja ingin bicara, Jimin tiba-tiba memejamkan mata. Kepala dan dadanya sakit di saat yang bersamaan. Kepalanya sangat pusing, sementara dadanya seperti tadi malam. Seulgi langsung panik melihat itu. Dia meraih posisi duduk dan memegang wajah Jimin.

"Kenapa? Pusing ya? Sudah kubilang jangan memikirkan apapun dulu dan tidur saja." Seulgi memijat halus pelipis Jimin. Tapi tubuhnya kembali ditarik Jimin untuk tiduran. Jimin membekap Seulgi dalam pelukannya. Dadanya masih sakit, namun memeluk seseorang dapat membantunya lebih tenang untuk bernapas.

Seulgi pun tidak lagi melawan dan hanya terdiam, membiarkan Jimin memeluknya. Tubuh Jimin sangat hangat karena demam. Dia lalu mendongak dan menelusuri wajah Jimin yang sedang memejamkan mata. Terlihat dari ekspresinya yang berusaha menahan sakit. Dia jadi teringat kejadian sehari yang lalu. Di saat Jimin menangis sampai terisak di hadapannya. Membuka semua masa lalunya kepada Seulgi.

Sekarang Seulgi sadar. Di belakang sosok Jimin baik-baik saja, ada Jimin yang mencoba untuk tidak tumbang. Mencoba menutupi semua kekurangannya dan hanya menampilkan yang terbaik. Pasti dia sangat lelah selama ini. Tidak ada orang atau tempat yang bisa dia singgahi. Karena dia hanya ingin menampilkan sisi baiknya. Tidak ingin orang melihat sisi hancurnya.

Did You Know?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang