________
____
__
Sejak keluar dari ruangan Sojun, dia ingin istirahat katanya, Seulgi pun keluar mencari Jimin yang tadi tiba-tiba emosi. Seulgi sudah mencari di sekitar kursi tunggu. Dia pun sudah menelepon Vernon, barang kali Jimin ke kafeteria menghampirinya. Namun Vernon juga tidak tahu. Akhirnya setelah lima belas menitan berpikir, Seulgi baru ingat bahwa ibunya Jimin juga dirawat disini karena pingsan. Karena itu Seulgi langsung ke resepsionis untuk bertanya dimana kamar Yui.
Bagaimana dengan menelepon Jimin langsung? Tentu saja itu adalah opsi pertama yang Seulgi lakukan. Jimin tidak mengangkat. Sepertinya Jimin juga mematikan ponsel.
Akhirnya setelah dari tadi bolak-balik, turun naik lantai, Seulgi akhirnya sampai di depan kamar Yui. Dia pun mengintip lewat kaca jendela, memastikan keberadaan Jimin. Ternyata Jimin tidak ada. Hanya ada Yui yang masih tertidur, mungkin efek bius untuk menenangkan dirinya. Seulgi pasrah, tidak tahu lagi harus bagaimana mencari Jimin.
Dengan kecewa dia membalikkan badan dari pintu kamar Yui. Merenggangkan punggungnya sedikit untuk mengurangi rasa pegal. Lalu menghela napas panjang. Tanpa sadar dia sudah bergerak cukup banyak hari ini. Tubuhnya seperti akan remuk.
"Kau kenapa?" Suara familiar muncul dari koridor sebelah kanan Seulgi.
Seulgi menoleh dan mendapati sosok Jimin tengah menghampirinya. Terlihat wajah Jimin yang lumayan bengkak. Tidak perlu Seulgi tanya, dia tahu kalau Jimin habis menangis. Sungguh sakit hatinya melihat Jimin yang sering menangis akhir-akhir ini. Tapi di sisi lain, dia lega karena Jimin mau terbuka. Tidak berusaha untuk menahan tangisnya seperti dulu lagi.
Alasan? Laki-laki maupun perempuan, mereka hanyalah manusia yang punya titik lemah. Titik dimana mereka harus menumpahkan semuanya dengan menangis. Jadi alasan seperti "Laki-laki itu kuat, jadi tidak boleh menangis", adalah alasan konyol. Perempuan juga kuat dan mereka menangis di saat mereka lelah. Orang yang kuat tidak dilihat dari mereka menangis apa tidak. Tapi dilihat dari bagaimana mereka bangkit lagi setelah menangis. Menguatkan diri untuk tidak menyerah.
"Aigoo." Seulgi tersenyum, walau dalam senyumnya jelas tersirat kelelahan. Dia berdiri tepat di hadapan Jimin, lalu menarik pria itu ke dalam pelukannya. Membuat Jimin sekilas terlihat bingung. "Suamiku banyak menangis akhir-akhir ini."
Satu kalimat itu membuat Jimin terdiam. Tidak melakukan apa-apa. Hanya membiarkan Seulgi memeluk dirinya.
"Kau pasti lelah, kan? Aku mengerti. Tidak apa-apa. Aku akan selalu disini bersamamu. Kau bisa membagi setengah bebanmu padaku." Seulgi mengelus punggung Jimin.
"Tidak bisa. Beban di perutmu sudah cukup berat." Jawab Jimin. Membuat Seulgi terkekeh. Karena itu adalah fakta.
"Ini kan beban fisik. Maksudku beban mental. Kau bisa membaginya padaku."
Jimin terdiam lagi.
Seulgi memanyunkan bibirnya, walau tidak dapat dilihat Jimin dari depan. "Aku akan sangat mengapresiasi pelukan balik lho?"
Hal itu membuat Jimin langsung mengangkat tangannya dan membalas pelukan Seulgi. Bibirnya membuat sedikit senyuman. Entah kenapa perilaku sederhana ini sangat menghiburnya. Walau tidak terucap, Jimin sungguh berterima kasih kepada Seulgi yang selalu tulus membuatnya tersenyum.
Mereka pun melepas pelukan dan Jimin menatap Seulgi. "Kau belum menjawab pertanyaanku. Tadi kau kenapa?"
"Ah? Tidak kok. Hanya sedikit pegal saja, terlalu banyak duduk." Jawab Seulgi sambil mengalihkan pandangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Did You Know?
FanfictionJimin dan Seulgi bukanlah teman, kolega, atau apapun itu. Mereka tidak terikat hubungan apapun, hanya sebatas orang asing yang bertemu di bar pada malam yang sama. Malam itu, kecelakaan yang tidak diinginkan terjadi disebabkan oleh rasa mabuk yang t...