________
____
__
"Ini surat-surat pembayaran. Sudah aku urus, kau tidak perlu khawatir." Vernon menunjukkan beberapa kertas di tangannya kepada Jimin. Sudah mau satu jam sejak Seulgi datang. Mereka masih duduk di tempat yang sama. Menunggu dokter keluar ruangan.
Rasanya sangat gugup, menunggu kabar yang akan keluar nanti. Kabar buruk ataupun kabar melegakan hati. Untung saja kehadiran Seulgi membuat Jimin sedikit lebih tenang. Dari tadi juga Jimin menyandarkan kepalanya di bahu Seulgi. Mereka tidak merasa pegal sedikit pun, walau tidak berganti posisi selama hampir satu jam.
Kenyamanan mengalahkan segalanya.
"Kau yang memberitahu Seulgi aku disini?" Jimin melirik Vernon.
Vernon awalnya sedikit ragu untuk menjawab. Jimin kalau marah benar-benar seram. Dia takut Jimin marah karena dia memberitahu Seulgi soal semua ini. Namun dia tetap menjawab, karena Jimin akan lebih marah lagi jika dibalas dengan diam. "Ya. Seulgi khawatir denganmu yang tiba-tiba hilang tanpa alasan. Jadi dia meneleponku."
Jimin pun tersenyum. Tidak seperti yang Vernon bayangkan. "Terima kasih. Akan kunaikkan gajimu." Jawab Jimin bercanda. Tentu saja tidak seperti itu. Vernon adalah teman terbaiknya. Kapanpun Vernon butuh uang, Jimin akan berikan. Berapa pun nominalnya.
"Kau ini, membuatku takut dengan tatapanmu itu." Vernon pura-pura mengelap jidatnya yang tidak berkeringat. Jimin dan Seulgi terkekeh melihat aksinya.
"Baiklah, ini surat-surat akan kubawa. Aku akan menunggu di kafeteria bawah saja. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku."
"Kau boleh langsung pulang saja, biar aku yang pegang surat-suratnya." Jimin mengulurkan tangan, meminta surat-surat yang dipegang Vernon.
Namun Vernon menggeleng. "Kau pikir hanya kalian yang khawatir? Aku juga ingin tahu kabar dari dokter. Jadi aku akan menunggu di bawah, okay? Bye!" Vernon melangkah pergi tanpa menunggu jawaban Jimin lebih lanjut.
Pandangan Jimin pun kembali ke pintu ruangan ayahnya. Perasaannya mulai khawatir karena sudah berjam-jam namun dokter tak kunjung keluar. Separah itukah sampai butuh berjam-jam hanya untuk memeriksa keadaan awal? Jimin menebas semua pikiran negatif di kepalanya.
Dia memejamkan matanya. Berada di bahu Seulgi sangatlah nyaman. Seakan tempat itu hanya untuk dirinya seorang. As if it's made just for him.
Baru saja berniat untuk tidur sekejap, pintu ruangan terbuka. Membuat kedua matanya ikut terbuka juga. Jimin dan Seulgi pun langsung berdiri menghampiri dokter yang baru saja keluar ruangan. Menutup pintu dan menghadap mereka. Dari ekspresi saja, dilihatnya sudah tidak enak.
"Jimin-ssi?" Dokter itu bertanya, memastikan bahwa Jimin lah wali dari Sojun.
Jimin mengangguk. "Aku Park Jimin, anaknya."
Mendengar itu, dokter pun terlihat siap untuk memberikan kabar selanjutnya. Karena koridor sepi, mereka bisa berbicara disana.
"Mohon maaf karena pemeriksaan ini memerlukan waktu yang banyak. Kami telah memeriksa ayahmu secara keseluruhan. Dan dari hasil tes, beliau memiliki beberapa penyakit yang sudah cukup lama bersarang di tubuhnya. Bisa dilihat dalam data berikut." Dokter itu memberikan selembar kertas kepada Jimin.
Tangan Jimin menerima kertas tersebut, namun mata belum siap untuk melihatnya. Dia tidak ingin melihat penyakit-penyakit yang selama ini ayahnya sembunyikan dari mereka semua. Seulgi pun menyadari hal itu. Dia peka dan langsung mengambil kertas itu dari Jimin. Biar dia yang akan membacanya terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Did You Know?
FanfictionJimin dan Seulgi bukanlah teman, kolega, atau apapun itu. Mereka tidak terikat hubungan apapun, hanya sebatas orang asing yang bertemu di bar pada malam yang sama. Malam itu, kecelakaan yang tidak diinginkan terjadi disebabkan oleh rasa mabuk yang t...