CH - 37

565 88 5
                                    

________

____

__


"Astaga! Lalu bagaimana kondisinya sekarang?" Terlihat wajah Wendy di layar ponsel sangat khawatir. Seulgi memutuskan untuk menelepon sahabatnya itu, sembari menunggu Jimin yang sedang menjenguk ayahnya. Dokter sudah memperbolehkan untuk dijenguk. Namun, Seulgi tahu pasti banyak hal privasi yang ingin mereka bicarakan, jadi dia memilih untuk menunggu di luar.

Menelepon Wendy juga sekalian melepas rindu. Sudah lama mereka tidak kontakan lagi karena sibuk urusan masing-masing. Padahal dulu janjinya tiap hari tukar kabar. Sepertinya menetapkan sebuah hubungan tidak mudah. Apalagi berjarak jauh.

"Tentu saja tidak begitu baik. Bayangkan saja, ada empat penyakit serius di dalam tubuhnya! Aku hanya berharap semuanya dapat teratasi dengan penolongan medis." Seulgi mengeluarkan helaan napas panjang. 

Jujur, tubuh Seulgi sangat lelah. Dikarenakan perutnya yang sudah besar, berdiri dengan normal sudah menjadi hal yang jarang bagi Seulgi. Dia harus berdiri dengan bantuan, seperti memegang dinding atau suatu tumpuan. Kalau tidak, energinya akan terkuras banyak hanya karena berdiri. Begini lah sulitnya menjadi ibu. Seulgi merasakannya sekarang.

Dan karena wajahnya yang ikut lesu, Wendy pun sadar akan keadaan Seulgi. "Seulgi-ah, kalau kau lelah, bilang saja ke asisten Jimin yang namanya siapa itu-- aku lupa. Pokoknya dia. Bilang saja antarkan kau pulang ke rumah. Jimin dan ayahnya pasti mengerti karena kau sedang hamil tua." Wendy memberi saran.

"Tidak apa-apa. Aku juga sedang duduk. Di lantai ini sepi, jadi banyak kursi kosong." Seulgi membuat alasan. Padahal sebenarnya, punggungnya seperti sudah bengkok. Pegal sekali. Rasanya ingin rebahan di kasur.

"Wajahmu tidak pintar berbohong, bodoh." 

Seulgi hanya manyun mendengarnya. Habis mau bagaimana. Dia tidak enak kalau pulang begitu saja. Jimin juga pasti membutuhkan seseorang. Apalagi ibunya juga masih dirawat karena pingsan tadi. Walaupun Vernon ada disini, tetap saja berbeda kalau Seulgi pulang meninggalkan mereka begitu saja.

"Baiklah kalau kau memutuskan untuk menetap, aku juga akan menemanimu." Kata lain dari Wendy tidak ingin menutup telepon sampai Seulgi memutuskan untuk pulang.

"Memang hari ini kau benar-benar bebas?" Tanya Seulgi, karena jadwal Wendy selalu padat.

"Sebenarnya tidak seharian bebas. Namun aku di dorm seharian, soalnya tugasku bisa dikerjakan tanpa harus masuk kampus. Tapi tidak apa, aku bisa mengerjakannya nanti." Jelas Wendy soal aktivitasnya untuk hari ini. Seulgi mendengarnya seru sekali. Sudah hampir satu tahun dia tidak beraktivitas. Hanya di rumah. Seperti karantina saja.

Baru ingin lanjut bicara, Jimin keluar ruangan. Mengisyaratkan Seulgi untuk masuk. Seulgi pun mengangguk. "Wendy-ah, aku akan menghubungimu lagi nanti. Oke?"

"Don't worry about me, pikirkan dirimu dan yang sedang terjadi sekarang. Take care." Wendy melambai ke kamera sebagai perpisahan mereka hari ini.

Seulgi pun melambai balik dan telepon ditutup. Dia menyimpan ponsel kembali ke tas selempangnya. Lalu berdiri dan menatap Jimin yang menunggu, dengan gugup. Pasalnya, Seulgi jarang berhubungan dengan orang tua Jimin. Begitupun sebaliknya.

Kakinya pun melangkah masuk ke ruangan Sojun. Saat masuk ke ruangan, hal pertama yang dia sadari adalah begitu pucat wajah Sojun. Berbeda jauh jika dibandingkan dengan saat perkenalan waktu itu. Sepertinya Sojun menyembunyikan penyakitnya sampai selama itu. Pasti dia tidak ingin membebani siapa-siapa. 

Karena tidak tahu ingin bicara apa, Seulgi hanya membungkuk hormat. Sojun pun tersenyum dan mengisyaratkan Seulgi untuk mendekat kepadanya. Seulgi pun berjalan mendekat, berdiri di samping kasur. Menatap Sojun yang tengah terbaring lemah. Hebatnya dia masih bisa tersenyum seperti itu. Membuat kegugupan Seulgi perlahan hilang.

"Seulgi... menantuku. Bagaimana kabar kandunganmu?"

Seulgi memberikan senyuman hangat. "Sangat baik."

Sojun terlihat berpikir. "Pasti sudah besar, apa kalian sudah cek jenis kelamin?"

Jimin pun menggeleng. "Belum. Kita memutuskan untuk membuatnya menjadi kejutan." Yap. Jimin dan Seulgi pernah membicarakan tentang ini. Mereka tidak ingin mengetahui jenis kelaminnya. Karena sebuah kejutan akan lebih menegangkan dan seru. Lagipula mau perempuan atau pun laki-laki, mereka akan sangat bersyukur atas keduanya.

Sojun mengangguk pelan mendengarnya. "Aku berharap aku bisa sempat melihat cucuku saat dia lahir." Seulgi dan Jimin sontak menatapnya. Kenapa Sojun harus berkata seperti itu? Seakan dia tidak sempat karena tidak punya waktu banyak.

"Appa. Kau akan melihat cucumu. Kau akan kembali sehat dan kita akan sering mengunjungi kalian." Seulgi langsung mengatakan itu, dan menggenggam tangan Sojun. Dia tidak ingin aura negatif menguasai ruangan. Dia juga tidak ingin semuanya jadi berpikiran yang tidak-tidak.

"Oh ya, appa. Sepertinya aku butuh saran darimu soal nama anak. Aku dan Jimin masih kesulitan mencari." Seulgi terkekeh. Sojun pun tertawa dan mulai menyebutkan beberapa nama keren yang dia ketahui.

Dari belakang, Jimin menelusuri ayahnya yang sedang berbincang kecil dengan Seulgi. Melihat senyum ayahnya yang mengembang. Membuat sedikit keriput di ujung matanya. Sadar akan hal itu, hati Jimin terasa ngilu. Sejak kapan ayahnya menjadi seperti itu? Menjadi tua. Tanpa disadari, ternyata ayahnya sudah berubah jauh. Kulitnya tidak sekencang dulu. Tenaganya sudah jauh berkurang. Rambutnya memutih. Suaranya semakin rapuh dan pelan. Tidak setegas dulu.

Jimin bukan anak kecil lagi. Dia sudah mengerti hidup dan mati. Bahwa semua yang hidup akan mati. Dan yang mati akan hidup kembali. Lalu mati lagi. Sebuah siklus kehidupan yang kejam. 

Apakah dia siap, jika suatu saat orang yang ada di hadapannya, tiada untuk selamanya? Bahkan tidak peduli seberapa besar Jimin berteriak memanggil, orang itu tidak akan dapat kembali untuk memberinya sebuah pelukan.

Ingin rasanya Jimin menukar semua penyakit ayahnya, kepada dirinya. Biar dia yang menanggung semua derita ayahnya. Ibunya. Bahkan jujur saja, Jimin diam-diam pernah berdoa agar umurnya lebih pendek dari kedua orang tuanya. Egois, Jimin tahu doa seperti itu sangat egois. Namun--

"Jimin? Kenapa diam saja disana?" Suara Seulgi membangunkan Jimin dari lamunannya.

Membuat Sojun juga ikut menatap Jimin. "Jimin-ah. Sini peluk appa. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa memeluk anakku di dunia ini." Ucap Sojun dengan sekilas senyuman. Membuat mata Jimin terpaku hanya pada ayahnya. Membuat dia sedikit emosi. "Kenapa appa mengatakan hal seperti itu dari tadi?"

"Aku hanya memberitahu saja---" "Kau tidak akan pergi kemana-mana! Kau akan kembali sehat dan kita bisa bersama-sama lagi." Potong Jimin dengan nada bicara yang tinggi. Membuat Sojun dan Seulgi terpaku diam. 

Jimin yang merasa emosinya sedang naik, langsung meninggalkan ruangan. Dia tidak ingin Sojun atau Seulgi menjadi pelampiasan emosinya. Jadi dia memutuskan untuk menenangkan diri. 

Sambil berjalan menuju entah kemana, banyak pertanyaan terlintas di kepalanya. Pertanyaan yang selalu memiliki jawaban tidak jelas. Tidak berujung. Tentang kenapa kita dipaksa mencintai dalam kehidupan, kalau pada akhirnya kematian akan merenggut segalanya.

Kenapa semuanya harus pergi? Apa gunanya saling mencintai, jika di akhir akan saling meninggalkan?


________

____

__





Did You Know?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang