22,,Rumah Sakit°

21.1K 2.2K 11
                                    

Klek
Suara pintu ruang IGD yang terbuka.

Menampilkan dokter Rere dengan beberapa dokter lainnya keluar dari dalam sana.

Erick langsung menghampiri dokter Rere dan bertanya bagaimana kondisi Livia, dengan suara dan nada yang sangat khawatir.

"Kak Rere, gimana keadaan Via?" Tanya Erick pada Rere.

Via adalah nama panggilan khusus dari Erick pada Livia, jika orang lain akan memanggil Livia, Livi atau Audi, maka ia ingin yang berbeda. Dan akhirnya Erick pun memutuskan untuk memanggil Livia sebagai Via.

"Keadaan Livia memburuk Er, sekarang kita semua juga bingung harus apa. Para dokter udah berusaha lakuin yang terbaik, tapi tubuh Livia sama sekali gak merespon sedikit pun pengobatan dari kita" Jelas Rere.

Erick mematung mendengarnya.

"Kayaknya, kita semua cuma bisa pasrah aja sama Tuhan. Oh iya, kamu udah kabarin keluarga Livia belum? Kakak emang sepupunya, tapi kakak gak terlalu dekat sama keluarga Livia kecuali Livia. Karna kakak gak suka sama sikap mereka" Tambahnya lagi.

Erick menjawab dengan gelengan sebagai jawaban. Memang ia tidak memberitahukan keluarga Livia, lagipula buat apa coba. Keluarga itu juga gak ada yang mengharapkan Livia, jadi percuma aja ngasih tau mereka kan.

"Kamu gak boleh gitu,, kamu sebagai pacarnya walau gak suka sama keluarga Livia karna memperlakukan Livia kayak gitu, tetep aja harus ngasih tau mereka. Karna mereka berhak buat tau itu semua" Nasihat Rere pada Erick.

Erick hanya menghela napas,, "Yaudah nanti gue kasih tau" Pasrah Erick.

Rere mengangguk kemudian meninggalkan Erick. Karna Rere juga harus mengganti pakaian IGD yang ia kenalan, dan ada beberapa pasien yang harus segera ia tangani juga.

Walau Livia sepupu kesayangannya, tapi ia juga harus menjadi seorang dokter yang bertanggung jawab.

Setelah bertanya apakah Erick boleh menemui Livia di dalam, dan mendapatkan ijin. Tanpa ambil lama Erick pun memasuki ruangan itu dan duduk di samping brangkar Livia.

"Sayang bangun dong. Kamu gak cape apa tidur terus gitu,, aku aja capek liatnya" Mohon Erick dengan mengusap usap lembut pipi Livia.

Livia tidak bergeming, ia masih setia dengan keterpejamannya. Entah sedang bermimpi apa Livia saat ini, yang jelas wajah pucat dari Livia tidak mengeluarkan ekspresi apapun sekarang. Baik senang ataupun sedih.

Beberapa jam berlalu, seseorang datang memasuki ruang IGD dimana Livia berada.

Dia adalah Ana, setelah mendengar ucapan dari Erick di telfon beberapa saat lalu, ia dengan cepat bersiap dan bergegas ke rumah sakit dimana Livia berada.

Ana langsung ambruk ketika melihat kondisi dari sahabatnya. Tubuh yang di penuhi oleh alat alat medis, bahkan lebih parah kondisi Livia yang sekarang, ketimbang yang sebelumnya.

Livia seperti seorang mayat yang masih di pasangi alat medis di rumah sakit. Wajah dan kulit yang pucat, dengan selang oksigen yang bertengger di hidungnya. Dan tidak lupa berbagai macam selang selang yang di pasangkan pada tubuh Livia, yang menambah kesan menyedihkannya.

Sosok Livia yang selama ini terlihat kuat dimata mereka, entah berada dimana. Jika boleh mereka akan lebih memilih Livia yang suka membully dulu dari pada Livia harus terbaring lemah di atas brangkar rumah sakit seperti ini.

"An, lo panggil anak-anak lain, terus jaga Livia, gue mesti pergi ke suatu tempat dulu. Gak lama kok" Ijin Erick pada Ana. Dan di turuti oleh Ana.

Erick meninggalkan ruangan itu, dan pergi entah kemana.

"Liv, bangun. Lo gak kasian sama gue? Gue cuman punya lo loh di dunia ini,, lo tau kan orang tua gue udah pisah. Mamah gue milih ninggalin gue dan pergi sama selingkuhannya, sedangkan Papah gue, dia bawa selingkuhannya juga dan jadiin istri di rumah Liv" Ungkap Ana dengan suara bergetar.

"Mereka semua jahat, dan cuma lo yang sayang sama gue tulus. Plis jangan gini dong Liv, bangunn jangan buat gue sedih dong" Pinta Ana dengan air mata yang sudah mengalir.

☆☆☆

Jumlah kata, 600 kata
Tanggal publis 11 Juni

Damn Novel [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang