30 - the real deal

2.7K 435 87
                                    

"Kak, gue tau ini situasi genting. G-gue paham banget lo panik, tapi mutusin buat nikahin anak orang bukan hal yang bisa lo asal janjiin," Leo berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisir volume bicaranya. Bagaimanapun, ia tetap ingat untuk menjaga perasaan Ryuna yang menunggu di ruang tengah sedangkan mereka berdua masih berbincang di kamar Darren.

Bohong kalau Leo tidak panik, ia bahkan sudah tidak peduli jika akhirnya harus ketinggalan rombongan choir kampus. Urusan dengan Darren jauh lebih menyita perhatiannya. Lagi pula, mana bisa Leo fokus dengan acaranya di sana jika ia tahu Darren sedang menghadapi sebuah masalah yang tidak kecil.

"Kasih tau gue dulu kek gitu. Kenapa lo diem-diem bae," oceh Leo tak menampik rasa kecewanya mengetahui sang Kakak memilih untuk menghadapi masalahnya seorang diri.

Lagi-lagi begini.

"Sekarang lo uda tau situasinya, dan menurut lo gue harus gimana?" Darren bertanya balik. Tidak ada emosi yang jelas tergambar di wajah maupun nada bicaranya, tidak marah, tidak panik, namun tetap terlihat tidak baik-baik saja.

Nada bicara Darren terdengar tenang, namun Leo tau, alih-alih tenang, Darren sesungguhnya berada di titik buntu. Ia hanya berusaha melakukan apa yang ia rasa harus ia lakukan tanpa benar-benar mempertimbangkan banyak hal.

"I-I don't know," respon Leo menghempaskan diri di ranjang tempat Darren duduk kini.

Kepala Leo ikut pusing memikirkannya, sedangkan Darren? Ia mungkin sudah mulai terbiasa. Ia layaknya seorang narapidana yang pasrah menunggu penghakiman atas perbuatannya.

"Yang pasti, gue tetap berpendirian sama ucapan gue sebelumnya, lo gak bisa asal ngajak Ryuna nikah, Kak. Seenggaknya deh, seenggaknya, kalau emang keputusan lo udah bulat buat tanggung jawab dengan nikahin Ryuna, our parent deserve to know first," lanjut Leo mempertegas maksud ucapannya.

Kali ini, giliran Darren yang menghempaskan tubuhnya di sebelah Leo.Helaan nafas Darren terdengar berat, "now that's the real deal I should face."

"Mampuslah kita, Kak."

•••

"Telepon," pintah Denise menyerahkan sebuah ponsel pintar kepada Ryuna yang nampak menatap ponsel tersebut dengan tatapan gentar. Ponsel itu adalah ponsel pribadinya yang sengaja tak ia aktifkan dan ia serahkan pada Denise selama beberapa hari ini demi menghindari Papa dan Mama.

"Gak mau."

"Harus mau, gak bisa begini terus. Cepat atau lambat, lo harus ngobrol lagi sama Om dan Tante. Mereka setiap hari nanyain lo ke gue," tutur Denise membujuk.

"Gak usah lo jawab kalau emang it-"

"You think?! Ryu, uda cukup kaburnya, lo harus siap duduk bareng dan ngobrolin ini sama mer-"

"Lo enggak paham, Den!"

Nada bicara itu meninggi, pengaruh hormon sepertinya membuat Ryuna jadi agak hilang kendali atas emosinya sendiri.

Beruntung, setidaknya Denise tidak ikut tersulut.

"G-gue malu, Den," tambah Ryuna melirih. Ingatannya terlempar ke memory tadi pagi, ketika Darren juga bersikukuh untuk menemui orangtua Ryuna sore nanti. Beruntung, kembalinya Leo yang partiturnya tertinggal secara mendadak tadi bisa membuat Darren berubah pikiran. Ryuna tidak tahu apa yang Leo dan Darren bicarakan, ia tidak peduli. Yang pasti, Ryuna lega mengetahui perubahan pikiran Darren.

Dalih Ryuna tadi memang karena mengkhawatirkan kesehatan Darren. Walau tidak seratus persen bohong, namun alasan sesungguhnya Ryuna kukuh ingin menunda pertemuan Darren dengan kedua orang tua, ya tidak lain sama dengan apa yang baru saja ia katakan pada Denise.

STUCKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang