21 - it begins

3.1K 432 235
                                    

*psst, nanti setelah selesai baca update hari ini, author's note ku di akhir juga dibaca ya! 😁*

.

.

.

Leo memamerkan deretan gigi putihnya, memberi cengiran tanpa dosa ke arah wajah geram Darren. Keduanya baru saja pulang dari kantor polisi untuk memenuhi surat panggilan tiga hari lalu.

Seharusnya Leo bisa ditemani pengacara keluarga mereka saat memenuhi panggilan tersebut, hanya saja Leo dan Darren setuju untuk mengurusi hal ini berdua saja. Jangan sampai terdengar ke telinga Papi di Surabaya maupun Om Larry di Jakarta. Pokoknya, hanya Leo dan Darren yang tahu. Bahkan Ningsih dan Ryan saja tak mereka kabari.

"Leo, tadi polisi ngomong apa aja?" tagih Darren pada Leo yang kini sudah selonjoran di sofa ruang tengah. Pemeriksaan di kantor polisi tadi melelahkan tau!

"Nothing particular, Kak. Cuman dimintain keterangan sama lurusin salah paham. Lo tenang aja, gue gak bakalan kenapa-napa," sahut Leo begitu santai.

Darren menarik nafas demi menahan kekesalannya. Padahal yang dipanggil ke kantor polisi itu Leo, Darren hanya menemani. Namun, oknum bersangkutan malah terlihat begitu santai. Seakan-akan pemanggilan dirinya ke kantor polisi hanyalah hal biasa.

"Lo gak make kan?" Darren menatap penuh selidik.

"Come on, Kak! Gue jarang gereja tapi gue gak setersesat itu ke jalan setan ya. Kecanduan gue mentok-mentok cuman kecanduan gadoin bubuk energen cokelat doang, bukan kecanduan narkoba. Lagian kalau iya gue make, gak mungkin gue bisa santai banget tadi pas berangkat," racau Leo. Tidak habis pikir saja karena Darren mempertanyakan sesuatu yang sudah pasti tak ia lakukan.

"Hilih, lo tiga hari panik sendiri ya anjir! Tadi aja lo keringet dingin pas gue anterin ke sana!" Darren tidak terima dengan gaya songong Leo.

"Ish, manusiawi lah!" elak Leo yang sudah gagal keren.

"Ya uda, terus kenapa jadinya?" Darren sekarang benar-benar seperti jelmaan Mami di mata Leo. Jiwa 'emak-emak galak' Darren yang biasanya cuek mencuat ke permukaan.

Leo mengubah posisi leha-lehanya untuk duduk dengan benar. Okay, sekarang ia akan serius.

"Jadi, ada lah komplotan orang bego ketangkep karena laporan pelecehan. Terus pas diselidikin lagi ada sangkut pautnya lagi ke kasus narkotika," Leo memulai penjelasan.

"Nah, salah satu dari komplotan manusia bego itu tuh ngaku sempet lakuin transaksi di pesta gue sebulan yang lalu. Jadilah gue dimintain keterangan, curiganya gue emang sengaja ngadain pesta sabu dan sebagainya itulah," Leo melanjutkan penjelasannya.

"Berarti pelakunya itu salah satu temen yang lo ajakin party kemarin dong? Lo kenal orangnya?" Darren masih dalam mode interogasi. Padahal ada sofa yang begitu empuk, tapi ia lebih memilih tetap berdiri sambil bersedekap dada.

Leo menggelengkan kepalanya, "enggak kenal."

"Hah? Gak kenal tapi kenapa bisa nyasar ke party lo? Gimana dah? Gue gak paham," baiklah, melihat respon Darren, sepertinya Leo harus siap diomeli.

"Y-yah gak kenal, gue ngundang orang-orang yang gue kenal aja tapi gue kasih kebebasan ke mereka buat ajakin temen mereka yang lain. B-biar meriah aja gitu, gak flop," terang Leo yang tak berani menatap ke arah Darren. Untuk yang satu ini, Leo mengakui ia salah. Sebuah kecerobohan besar membiarkan orang-orang yang tak benar-benar ia kenal untuk masuk ke kediamannya.

"SINTING LO!?" pekik Darren sungguh tak habis pikir. Leo hanya mampu meringis sendiri sekarang.

"Jadi lo secara gak langsung ngebiarin orang-orang yang lo bahkan gak tau namanya itu buat masuk ke rumah?! Leo, lo bener-"

STUCKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang