23 - alone

2.8K 426 52
                                    

Darren yg saat itu masih memakai kemeja putih dengan lengan tergulung dan beberapa kancing atas terbuka nampak terduduk dengan gelisah. Setelah pulang dari makan siang bersama Laura usai MUN tadi siang, ia menuju tempat Jemin untuk sekedar melepas penat, namun telepon dari Leo tentang kedatangan Ryuna jelas membuat Darren langsung bergegas pulang.

Kini ia sedang berada di ruang tengah dengan Leo.

"Kak, lo biasa aja napa? Gue gak konsen main nih," ujar Leo masih sibuk dengan Playstation nya.

"Ryuna uda dari kapan di kamar mandi?" tanya Darren. Pasalnya, sejak ia sampai rumah setengah jam yang lalu, batang hidung Ryuna, si tamu dadakan belum juga muncul.

"Berak kali ah, emang cewe cakep gak boleh berak apa? Mereka kan manusia," sahut Leo melantur.

Tsk, seandainya Leo tau apa yang sedang terjadi.

"Gue cek ke belakang aja kalau gitu, ini uda kelamaan," ujar Darren, menyerah akan respon Leo yang kelewat santai.

Di lain sisi, seorang perempuan berwajah muram yang Ryuna tatap dari pantulan cermin di depannya benar-benar terlihat menyedihkan. Iya, itu dirinya sendiri, si perempuan menyedihkan.

Tangannya mengelus perut yang belum terlihat membesar. Kehamilannya memasuki minggu ke-8 dan sampai sekarang, ia masih belum tahu harus melakukan apa. Ia masih bingung, memikirkan bagaimana nasib sang calon anak dan tentu saja nasibnya sendiri.

Pipinya yang beberapa jam yang lalu menjadi sasaran tamparan Mama masih terasa panas. Tak ada luka maupun bekas memerah di sana, tapi efeknya amat melekat di memory dan hati Ryuna.

"Ryuna, lo masih di sana?" panggil Darren dari balik pintu kamar mandi di mana Ryuna berada.

Tanpa bersuara, Ryuna memutuskan untuk berjalan keluar. Mau tidak mau, siap tidak siap, ia harus bertemu dengan Darren lagi. Keduanya sama-sama tak ada pilihan. Untuk sekarang, semakin mereka saling menghindar justru masalah akan semakin runyam.

"Sorry agak lama make kamar mandinya," ucap Ryuna pada Darren yang menunggunya di luar. Ia melihat raut penuh kekhawatiran pada wajah lelaki itu.

Apa yang ia pikirkan? Apakah ia mengira Ryuna akan berbuat nekat?

"Lo kenapa?" begitu santai Ryuna mempertanyakan kebingungannya, berbanding jauh dengan Darren.

"Ikut gue, kita perlu bicara," tak menjawab pertanyaan Ryuna barusan, Darren melenggang pergi menuju ruang tengah untuk mengambil koper kecil Ryuna dan langsung menuju kamarnya di lantai atas. Ryuna menurut, menyusul langkah Darren.

Keduanya seakan tak peduli dengan raut kebingungan dan penasaran Leo yang juga berada di sana.

Sesampainya di kamar Darren, kecanggungan menyelimuti mereka. Ah, kali terakhir mereka di sini adalah ketika Ryuna kabur dari makan malam keluarganya dengan Robert.

"Lo kabur dari rumah?" Darren bertanya penuh kehati-hatian.

Ryuna bukannya menjawab, atensinya justru tertuju pada wajah Darren. Seperti bercermin, Darren tak terlihat lebih baik dari Ryuna. Mereka sama-sama menyedihkan.

"Ryuna, jawab gue," Darren menegur.

"Iya, gue kabur," jawab Ryuna dengan singkat dan jelas.

"M-mama Papa lo uda tau?" Darren bertanya dengan ragu. Mungkin sama seperti Ryuna, Darren juga masih merasa tabu untuk membahas perihal kehamilan ini, terlebih mengingat betapa alotnya argumen mereka seminggu yang lalu di rooftop kampus.

Ryuna tak menjawab, ia terlalu malas untuk menjelaskan kronologi kejadian di rumah. Setidaknya itu yang Ryuna berusaha yakinkan dalam hati. Padahal sesungguhnya, ingatan bagaimana ekspresi kedua orang tuanya tadi masih terekam jelas di memory Ryuna. Membuat perasaannya campur aduk.

STUCKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang