41 - Mixed

3.1K 434 112
                                    

Rencana yang dadakan biasanya selalu terwujud di akhir. Sepertinya hal itu memang benar adanya. Sepulangnya dari pertemuan dengan Mas Teddy, kini Darren dan Ryuna benar-benar sudah siap memulai perjalanan menuju villa milik keluarga Darren di Puncak.

"Punya Om Larry sebenernya, buat dia sama keluarganya liburan. Cuma, karena berhubung mereka lebih sering liburan ke luar negeri, ini jadi tempat kabur gue pada kalau lagi sumpek sama suasana Jakarta," begitu penjelasan dari Darren.

"Yakin gak ada yang ketinggalan lagi? Vitamin dari dokter kemarin sama susu, udah dimasukin?" Darren bertanya setelah membantu Ryuna memasukan bawaannya ke dalam mobil.

"Udah, Ren. Lo udah nanya tadi pas gue packing," sahut Ryuna gemas.

"Mastiin aja, hahaha."

Keduanya kini sudah duduk di kursi depan, dan Darren mulai menstarter mobilnya.

"Tadi izin ke Papa gimana?' Ryuna sebenarnya bingung kok Papa Mama mengizinkan ia pergi dengan Darren.

Ya memang sih, Ryuna juga sudah terlanjur 'isi'. Tapi, masa benar-benar diizinkan begitu saja?

"Gue ngobrol sama Mama, terus beliau bantu bujuk Papa," jawaban singkat Darren memang sudah cukup jelas, seharusnya.

"Wait, kok lo sekarang jadi ikut manggil mereka ..."

"Mama yang minta."

'Wait, sejak kapan Mama sama Darren deket gini? Mama bukannya skeptis abis sama Darren?' Ryuna jujur saja kaget.

"I actually apologized to your mom and dad personally that night when I came to your house. Dan gue setuju dengan omongan Mama waktu itu soal betapa lebih sulitnya posisi keluarga lo sebagai pihak cewek di kejadian ini," ucap Darren seolah paham bahwa Ryuna butuh penjelasan.

"Lo nemuin mereka sendiri?"

"Yes, karena pas didampingin Papi Mami, gue gak ada kesempatan buat sampein penyesalan gue ke mereka. Kayaknya, akan tetep berasa ganjel kalau belum ngomong dan minta maaf secara proper ke mereka. Glad, they're willing to listen. Walau Papa masih begitu, cuma gue maklum sih. Serius, Papa lo udah baik banget dengan gak nonjok dan bikin gue babak belur, hahaha," penuturan Darren diakhiri dengan tawa canggung.

'but the way he looks at me it's still haunting me, Ren. Gue gak betah,'

"Maaf ya, Ryu. Gue bikin kedua orang tua lo patah hati."

Ryuna baru akan menanggapi, namun getar handphone mengusik.

"Bentar, gue angkat telepon dari Denise dulu," izin Ryuna menempelkan ponsel pintarnya ke daun telinga.

Darren tetap fokus pada jalanan yang mereka lewati, membiarkan Ryuna untuk mengangkat telepon Denise.

".... Darren," lirihan Ryuna yang terdengar melemas cukup membuat Darren khawatir dan menoleh.

"Yes? Lo gak apa-apa?"

"L-laura..." suara Ryuna terdengar gemetar.

"Laura kenapa?"

"D-dia dilariin k-ke rumah sakit, p-percobaan bunuh diri."

Kalau begini, akankah rencana dadakan mereka tetap terealisasi?

•••

Darren baru saja selesai memarkirkan mobilnya di halaman villa yang akan mereka tempati. Langit sudah mulai menggelap dan udara sudah mulai dingin.

"Ren, lo serius gak mau ke rumah sakit?" ini bukan kali pertama Ryuna bertanya. Ia tidak sebuta itu untuk menyadari raut khawatir Darren saat mendengar apa yang Ryuna sampaikan mengenai Laura.

STUCKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang