36 - hormones

4.2K 425 103
                                    

"Ryu, kok ditutup?" ekspresi bingung pada wajah lebam Darren membuatnya terlihat menggemaskan sekaligus menyedihkan.

"Emang kenapa?" tanya Ryuna nampak tak peduli. Perempuan itu tetap menarik Darren untuk duduk di kasurnya, menjauhkan Darren dari pintu kamarnya yang baru saja ia tutup rapat.

"Papa lo tadi suruh jangan tutup pi–"

"Ini kamar gue, suka-suka gue," Ryuna memotong ucapan Darren.

"Ryu, serius. Mending lo buka aja pintunya," bujuk Darren lagi sembari mencoba beranjak untuk membuka pintu kamar Ryuna.

"Lo sawan ya sama Papa?"

"B-bukan gitu," elak Darren, sementara hatinya menjerit, 'gak bisa! Gue gak mau kena bogem lagi woi!'

"Bikin giti, udah sih santai," ejek Ryuna menertawai sikap Darren sembari tangannya sibuk menyiapkan kompres untuk lebam pada wajah Darren.

Mama tadi meminta Ryuna membawa Darren ke kamar untuk diobati. Bagaimanapun, Mama sadar kalau lebam pada wajah Darren adalah akibat dari perbuatan suaminya. Mama merasa tetap harus bertanggung jawab meskipun sebelumnya ia sempat adu mulut dengan Mami Darren.

Tentu dengan catatan pintu kamar harus dalam keadaan terbuka. Ini larangan keras yang Papa sampaikan sendiri ke Darren.

'Jangan tutup pintu dan jangan berani macam-macam pada anak saya, atau habis ini bukan hanya wajah kamu yang akan saya buat lebam.'

Mengingatnya kembali saja membuat Darren merinding. Ngeri.

"Muka lo siniin," pintah Ryuna kemudian seusai siap dengan kompresnya.

"Beneran gak apa-ap–akh! Jangan diteken, sakit!" gerutu Darren menjauhkan wajahnya dari kompres di tangan Ryuna.

"Pft, gak! Sumpah, gak gue teken, Ren," ekspresi dan jawaban Ryuna sama sekali tak meyakinkan Darren.

"Gak, gue gak percaya!"

"Seriusan, Ren. Sini deketan," bujuk Ryuna.

"Gak, lo iseng!"

"Ck' ya udah, nih lo gituin sendiri aja," Ryuna serahkan kompres tadi pada Darren.

Darren terima kompres tersebut, namun bukannya langsung segera mengompres, pemuda itu terlihat takut dan bimbang saat akan menempelkan kompres itu ke lebam di wajahnya.

"Yaelah," Ryuna geregetan, ia ambil lagi kompres tadi dari tangan Darren.

"Sabar sih," Darren tak terima kompresannya direbut. Ryuna kasar, tadi saja, ia dibuat terkejut.

"Sini deketan!" decak Ryuna, Darren ini agak rewel juga ternyata.

"Jangan kasar-kas–"

"Iya, cepetan," ingin rasanya Ryuna menambahkan lebam pada wajah menyebalkan Darren.

Walau agak ragu, Darren berlahan mencondongkan wajahnya ke arah Ryuna.

"Gue tempel– kenapa tangan gue ditahan?" Ryuna menghela nafas, tak habis pikir Darren sepenakut ini.

"Jaga-jaga kalau lo neken kompresannya lagi kayak tadi, lo mah kasar," sahut Darren begitu jujur tanpa peduli kalau yang baru saja ia katai adalah calon ibu yang sedang mengandung anaknya.

"Lo makin mancing gue buat jejelin ini kompres ke muka lo," oceh Ryuna meski berujung pasrah, membiarkan tangan Darren bertengger di tangannya yang memegang kompres. Terserah Darren mau melakukan apapun, yang penting sekarang adalah membuat lebam Darren tidak semakin parah.

STUCKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang