34 - they meet

2.3K 403 49
                                    

Orang dewasa terkadang terlalu meremehkan anak-anak. Acap kali, ucapan dan pembicaraan mereka tak pernah benar-benar mereka perhatikan. Sehingga mereka tidak menyadari akan bekas dan efek yang ditimbulkan.

Waktu itu, Ryuna masih berusia sembilan tahun. Ia sedang mencoba terlelap dalam tidur siang setelah menenangkan diri dari tangisan akibat ulah kakaknya yang tantrum dan melemparkan remot televisi hingga mengenai dahi Ryuna.

Demi menenangkan tantrum Adrian tersebut, Papa dan Mama akhirnya memutuskan untuk mengantar Adrian ke restoran cepat saji, tempat di mana hadiah mainan yang begitu Adrian inginkan tersedia. Sehingga, Nenek dan Tantelah yang kini menemani Ryuna di rumah.

"Kasihan Ryuna, semua perhatian Papa dan Mamanya kesita buat Adrian," mungkin Nenek pikir Ryuna sudah terlelap sehingga kata-kata tersebut terucap.

"Mau gimana lagi, Bu? Adrian butuh pengawasan lebih," tanggap Tante Lea, adik dari Papa Ryuna.

Tak ada balasan dari Nenek, namun Ryuna bisa mendengar suara-suara dari beberapa barang di kamar yang sepertinya sedang direcoki oleh Nenek -atau mungkin Tantenya. Entahlah, Ryuna hanya bisa mengandalkan indera pendengaran saja di tengah usahanya untuk mencoba terlelap.

"Ckck' kamu lihat agenda Ryuna. Senin sampai Jumat les, belajar bisa sampai jam enam sore, dan Sabtu masih harus kursus Piano," Ryuna mendengar Nenek mulai mengomentari jadwal padatnya.

Apakah ada yang salah dengan itu semua?

"Adrian gak ada harapan, jadi sekarang Indra dan Sofie malah maksain semuanya ke Ryuna? Astaga, Ibu bener-bener gak habis pikir."

Ryuna bohong jika mengatakan kalau perkataan Nenek barusan tak membuatnya terusik. Faktanya sekarang, ia jadi bertanya-tanya apakah semua perkataan tadi benar?

Suara langkah Nenek mendekat, hingga akhirnya Ryuna bisa merasakan tangan keriput itu mulai mengelus sayang surainya.

"Ibu, jangan mikir kayak gitu. Mas Indra dan Mbak Sofi gak mungkin setega itu," Tante berusaha menyangkal.

"Kamu belum jadi orang tua, Lea. Kamu nggak paham ambisi yang tiap orang tua punya buat anak-anaknya," dan Nenek membungkam tanggapan si putri bungsu.

"Ryuna, cucu Nenek yang Nenek sayang. Kamu kasihan sekali, harus dewasa sebelum waktunya dengan perhatian yang minim dari Mama Papa kamu," kini Nenek berbicara pada Ryuna yang tentu saja tak bisa Ryuna tanggapi.

"Mom, I know she's asleep but she might hear you," Tante memperingati Nenek dengan nada gusar.

"Semua gara-gara Sofi, coba kalau dia gak aneh-aneh dan gak coba ngegugurin Adrian? Mana mungkin Adrian terlahir kayak gini," Nenek sepenuhnya menyalahkan sang menantu atas apa yang menimpa cucu sulung. Ada helaan nafas sarat rasa kesal, kecewa, dan geram.

"Liat sekarang? Gak cuma Adrian, Ryuna sekarang juga jadi korban kan?" tambahnya.

"Hush, Ibu udah ah! Jangan berprasangka buruk terus," Tante

Ada tangisan yang Ryuna coba tahan dalam sesak, karena berapa kalipun ia coba menyangkal, hati kecilnya mulai menjerit setuju atas perkataan Nenek.

Semua percakapan Nenek dan Tante barusan terekam jelas di memory Ryuna, tertanam dan mengakar di sana, lalu tumbuh beranjak dewasa bersamanya.

Tak hanya sampai di sana, seiring berlalunya waktu dan selaras dengan usianya yang kian bertambah, kebenaran demi kebenaranpun mulai Ryuna ketahui dan pahami.

Tentu saja semua itu ia ketahui dari mulut Nenek dengan beberapa sanak saudara dari pihak Papa yang kerap kali terang-terangan membicarakan sang Mama di depan Ryuna. Bahkan, mereka juga sering 'mengasihani' Ryuna, yang tentu saja membuat Ryuna jenuh.

STUCKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang