1 - Darren Gautama

10.5K 769 220
                                    

H-21

.

.

.

.

.

.

.

Tubuh tegap dengan senyuman lebar dan wajah tampan, begitu elok untuk dilirik mata. Tidak heran jika ia langsung menjadi pusat perhatian kemanapun ia melangkah. Meski dirinya selalu duduk di barisan paling belakang kelas mata kuliah, dosen tak pernah tidak mengingatnya karena tidak hanya menawan, namun ia juga cukup aktif dalam berorganisasi.

Adalah Nathan Benjamin, vice president dari club fotografi di kampus dimana dirinya menuntut ilmu.

Tapi, bukan dia bintang utama dari cerita kali ini.

Melainkan sosok pemuda yang berjalan di belakang Benjamin. Sahabat yang kemana-mana selalu bersama Benjamin, tapi kehadirannya seakan tak pernah digubris oleh orang-orang. Sangat berbanding jauh memang.

Ialah Darren Gautama, pemuda yang jarang sekali menebar senyumnya kepada orang-orang sekitar. Mahasiswa kupu-kupu alias kuliah pulang kuliah pulang. Datang ke kampus pun di waktu yang mepet-mepet dengan jam mulai kelas. Tidak heran jika keberadaannya kadang tak terlalu diingat.

"Hoi, Ben! Entar malem lo ngikut party kaga?"

"Eh Benjamin! Kemana aja lo?"

"Pagi bapak vice president nya anak foga!"

"Nathan, seger amet itu senyum. Baru menang togel lo?"

Lihat? Semuanya menyapa sahabat Darren dengan berbagai panggilan. Sedangkan Darren? Ia sudah seperti bayangan dari sahabatnya itu. Hanya mengikuti tanpa dipedulikan eksitensinya.

"Jem, lo disapa sana sini, emangnya lo hafal dan kenal siapa aja yang tadi nyapa lo?" tanya Darren. Ya, nama Nathan Benjamin sebegitu keren tapi Darren seenak jidat memberikan panggilan 'sayang' dengan sebutan 'Jemin' karena Benjamin kalau dibaca jadi 'Benjemin'.

Maksa. Tapi yasudalah, suka-suka Darren.

"Hehehe, ya samar-samar lah. Kalau gue lupa siapa mereka, sebut saja dengan sebutan 'bro' atau 'sis'. Uda deh, case closed," sahut Benjamin menaik turunkan alisnya.

"Uda macem penjual olshop aja," tanggap Darren.

"Hehehe latihan lah, Ren. Papa gue punya toko di Tanah Abang kan gue juga yang lanjutin nanti," sahutnya.

Darren hanya mendengus mendengar jawaban Jemin. Ia sadar bahwa mereka berdua memang bertolak belakang. Sejak awal kenal Jemin di semester satu, tidak pernah terlintas di pikiran Darren bahwa pada akhirnya ia justru akan menjalin hubungan yang karib dengan Jemin, salah satu mahasiswa paling eksis. Beda dengan dirinya, si mahasiswa apatis.

Lalu apakah Darren iri dengan Jemin? Jawabnya tidak. Darren sudah sangat nyaman dengan cara dan polah kehidupannya sejauh ini. Menjadi lelaki biasa yang menjalani kehidupan seperti biasa.

Justru, Jemin yang lebih sering bertanya-tanya dan iri melihat Darren. Bagaimana caranya menjadi lelaki se-bodo amat Darren?

"Lo ke kantin dulu aja, Ren. Gue kudu ke research center nih, ada briefing," ucap Jemin.

STUCKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang