32 - pillow talk

3.7K 423 144
                                    

Beberapa langkah di depan Darren, ada pembatas balkon yang bisa dengan amat mudah ia lompati. Ia bisa melarikan diri dari situasi tak menyenangkannya sekarang, menuju kemungkinan yang tentu saja tidak lebih baik.

Darren sudah tak tahu lagi mana yang lebih baik. Melompat dari ketinggian lantai tiga rumahnya sekarang juga lalu berakhir cacat atau bahkan mati. Atau melihat air mata Mami yang sedang tak bisa berkata apa-apa selain menangis dalam kekecewaan berat.

"Darren, kenapa kamu bisa kayak gini, Nak? Tuhan Yesus, cobaan macem apa lagi ini," dengan isak tangisnya, Mami mulai meracau sembari memukuli dada Darren.

Pukulan itu sama sekali tak berarti, tak terasa sakit sedikitpun. Darren pernah merasakan yang lebih dari ini. Anehnya, Darren justru merasa jauh lebih tersiksa dengan pukulan tanpa tenaga Mami.

Sesak pada dadanya semakin menjadi, terlebih ketika ia menyadari bahwa tidak ada satupun penjelasan yang mampu ia ucapkan untuk menenangkan Mami ataupun untuk membela dirinya sendiri.

"M-maaf, Mi. Darren udah ngecewain Mami," lirih Darren menunduk. Ia merasa malu, tak mampu melihat Mami yang hancur di hadapannya.

"Astaga anak Mami," Mami hanya mampu mengulang kata-kata tersebut di tengah tangisnya. Tak jarang, Mami juga sesekali terbatuk karena sesak di dada akibat menangis.

Bahkan, ketika rasa kecewa yang Darren timbulkan sudah separah ini, Mami masih sudih menyebut Darren sebagai anaknya.

Sumpah, Darren ingin sekali menarik Mami dalam pelukannya. Hati Darren sebagai seorang anak yang tumbuh dengan kasih sayang Mami merasa tersiksa.

"Hey, ada apa ini? Mami kamu kenapa nangis, Ren?" kehadiran Papi dengan suara tegasnya membuat situasi tak lebih membaik.

Lebih tepatnya, situasi Darren.

"Ren, kamu kasih tau Papi kamu! Ma-mami udah gak sanggup," dengan susah payah Mami mengucapkan hal tersebut.

"Darren Gautama, jelasin ke Papi ada masalah apa ini?" ketika nama lengkap terlontar dari mulut Papi, di sanalah Darren tahu kalau situasi ini sudah memasuki level yang jauh-jauh lebih serius.

"Papi, I–"

"Our son got his girlfriend pregnant, Pi!" seakan sudah benar-benar tak tahan dan masih tenggelam dengan rasa murka bercampur kecewa, Mami menyela Darren.

"Son, is what your Mommy said true?" suara tenang Papi dalam merespon justru membuat sekujur tubuh Darren jauh lebih merinding.

Apakah riwayatnya akan tamat?

•••

"Den, Darren gimana ya di sana?" pertanyaan tiba-tiba Ryuna di tengah kegiatan menontonnya bersama Denise barusan hanya dibalas dengan desahan tak minat oleh sang lawan bicara.

"Ah, here we go again. Ryu, he's doing fine, trust me. Dia tadi uda ngabarin lo kan?"

"Iya sih, tapi kepikiran lagi," perasaan resah dalam diri Ryuna begitu kuat.

Ingatannya melayang ke obrolan yang ia bagi semalam dengan Darren.

"Ren, you never told me the reason why did you change your mind," Ryuna bertanya dalam keadaan masih betah bersandar pada pelukan Darren tanpa sehelai benangpun menghalang.

Sebuah kegiatan tak terencana namun berakhir tanpa rasa sesal barusan, membawa keduanya ke sesi mengobrol yang tak pernah Ryuna bayangkan akan ia bagi bersama seorang Darren.

STUCKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang