46 - Closure?

2.7K 377 80
                                    

Kehidupan setelah pernikahan tentu saja terasa berbeda. Bahkan dengan segala kenyamanan yang–syukurnya– sudah tersedia, beban tanggung jawab masih mengikuti, begitu juga dengan beberapa hal yang masih membayangi.

"Gue batal ditunjuk jadi BA, Ren," ungkap Ryuna, terbaring nyaman di ranjang sembari menikmati pijatan lembut Darren pada salah satu kakinya. Memang belum membengkak sih, namun semakin hari semakin sering terasa pegal.

"BA? Brand ambassador?"

Ryuna mengangguk. "Tadi Denise ngasih kabar, brand skincare lokal yang dulu udah sign sama gue mutusin buat batalin kontrak. Padahal, gue bahkan udah sempet photoshoot loh," ceritanya dengan lesuh.

Teater kelas yang ia sudah persiapkan mati-matian bersama teman-teman sekelas, tak bisa ia ikuti. Program pertukaran pelajar di semester depan juga sudah pasti harus ia relakan. Sekarang, satu lagi project besar yang lagi-lagi harus Ryuna korbankan karena kondisinya sekarang.

Jika membicarakan hal ini, keraguan kerap kali menghampiri Ryuna.

Apakah ia sudah mengambil keputusan tepat?

Ah, Ryuna jadi teringat Mama.

Berbanding terbalik dari hubungannya dengan Papa, Ryuna kini, justru merasa hubungannya dengan Mama jadi lebih dekat.

Mungkin karena Mama adalah sosok yang paling paham bagaimana posisi Ryuna yang harus mengandung di luar keinginan dan perencanaan.

Terpaksa melepas banyak ambisi demi hal yang sesungguhnya tak siap untuk kita pertanggung jawabkan. Apalagi, Ryuna juga masih cukup muda. Banyak hal yang masih bisa ia gapai dan lakukan.

Seharusnya begitu.

"Your Mom told me that she was proud of your decision." Ryuna ingat saat Darren memberitahunya waktu itu.

"Weirdo, anaknya hamil di luar nikah kok bangga," dengkus Ryuna menanggapi dengan kesinisan tersirat. Bukan karena Mama, namun lebih karena ia tak merasa pantas untuk mendengar hal barusan.

"Gue kasih tau dia kalau lo yang pertama kali nyari gue dan yang mutusin buat pertahanin kandungan ketika gue dengan begitu brengseknya minta lo gugurin. Mungkin karena itu," jawab Darren.

Because I didn't want to end up like her.

Walau, tetap saja sampai detik ini, kerap kali timbul tanya, 'apakah gue sudah ambil keputusan yang tepat?' dalam benak Ryuna.

Menyadari masih ada keraguan tersebut dalam dirinya, Ryuna merasa ia tak berhak lega ataupun senang mendengar bagaimana tanggapan Mama.

Jahatnya, Ryuna tak bisa menghilangkan asumsi bahwa bagaiamana cara Mama menyikapi kehamilannya hanyalah karena keputusan Ryuna seolah menebus sedikit rasa bersalah dari tindakan Mama sendiri di masa lalu –mencoba menggugurkan Kak Adrian.

Mungkin Mama berpikir, setelah memutuskan untuk melanjutkan hidup dalam pernikahan demi pertanggung jawaban kandungannya, maka hidup Ryuna sudah tenang.

Padahal kenyataannya ...

Ryuna juga tak lebih baik dari Mama.

"Sorry, gue enggak bisa berbuat apa-apa," respon Darren, menyadarkan Ryuna yang tenggelam dalam lamunan.

Mendengar tanggapan itu, Ryuna perlahan menarik kakinya dari genggaman tangan Darren untuk beringsut duduk mendekat ke arah sang pemuda.

"Yah gak papa, gue 'kan emang cuma cerita aja," ucap Ryuna meraih salah satu tangan Darren untuk ia sematkan jarinya dengan jari-jari tangannya.

"Keputusan kita udah bener 'kan ya, Ren?" Ryuna selama ini memendam keraguannya seorang diri. Terlebih, mengingat ialah yang dulu lebih ngotot untuk mempertahankan sang calon anak dalam kandungan.

STUCKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang