T I G A

846 123 329
                                    

Bukannya khawatir dengan Zena, Zero malah memutarkan bola mata malas ia tidak berniat membantu Zena yang sudah merintih kesakitan. Zero kembali duduk untuk mengemasi kertas yang berserakan di bawahnya, Zena menahan suara tangisnya agar tidak keluar sebisa mungkin ia bangkit tapi rasa sakit di lengannya membuat tertatih, para siswa dan siswi melihatnya tanpa berniat membantu.

Dari kejauhan Netha melihat para murid bergerombol membentuk lingkaran dengan langkah cepat ia menerobos dan mendapati Zena yang terduduk di lantai. Saat ingin menghampiri Zena langkahnya tertahan karena tiba tiba Zero bangkit lalu mengulurkan tangannya ke arah Zena.

"Dasar cengeng, berdiri!?." Ucap Zero dingin, Zena menerima uluran tangan Zero, "bisa jalan sendiri kan?." Tanya Zero dengan lemah Zena mengangguk.

"Ya udah jalan sendiri ikutin gue!!." Setelahnya Zero berjalan mendahului Zena, gadis ini menghentak hentakkan kaki sambil mengikuti arah jalan Zero.

Zero yang terganggu dengan Zena, membalikkan badan menatap tajam Zena, yang ditatap menampilkan deretan gigi persis seperti anak kecil.

"Bisa biasa aja jalannya?." Seperti di terjam atmosfer Zena melototkan mata ke arah Zero.

"Tangan gue sakit, jadi mager jalan. Rasanya pengen ngesot di lantai." Ucap Zena dengan nada imut bagi orang lain mungkin terdengar imut beda lagi dengan Zero, bukannya terdengar imut akan tetapi menyebalkan. Zero benci cewek manja benci, benci dan benci.

"Ngak usah manja jadi cewek, yang sakit tangan lo bukan kaki." Tukasnya dingin, tanpa memperdulikan Zena lagi Zero terus melangkah menuju ruang guru. Mau tidak mau Zena juga mengikuti langkah Zero dan berhenti di depan pintu ruang guru, ia duduk di bangku yang berada di samping pintu, tak lama kemudian Zero keluar tanpa membawa apa apa, Zena yang menyadari keberadaan Zero bangkit lalu dengan cepat Zero menarik tangannya dan berjalan cepat.

Sebisa mungkin Zena menyamakan langkah kakinya dengan Zero namun tetap tidak bisa langkah Zero terlalu besar, pasrah saja dia di tarik oleh Zero hingga mereka berdua berhenti di depan UKS.

"Ngapain kesini sih kak?." Tanya Zena bingung sekaligus tidak menyangka jika Zero akan membawanya kesini.

"Ngak usah bawel, ikuti aja gue udah cukup." Sabara Zena, memahami seorang Zero memang tidak semudah yang ada di pikirannya. Zena menurut saat Zero menyuruhnya duduk di atas brankar.

Zena memperhatikan gerak gerik Zero yang entah sedang mencari apa, buka buka lemari namun tidak membawakan hasil, menyerah dengan usaha yang tak kunjung membuahkan hasil, Zero pergi ke meja penjaga dengan samar samar Zena dapat mendengarkan percakapan antara Zero dengan penjaga UKS.

"Za, P3K." Eza, penjaga UKS mengernyitkan dahi mencerna apa maksud Zero, setelah beberapa detik baru ia paham. Zero bukan hanya dingin tapi hampir setiap perkataannya tidak memiliki ujung dan pangkal, hanya orang orang terdekat yang mengerti dengan ucapannya.

"Ooh kotak P3K." Eza manggut manggut lalu bangkit dari duduknya menuju etalase di belakangnya mengambil sebuah kotak yang di minta Zero, "nih." Zero menerimanya, berlalu tanpa mengucapkan kata terimakasih.

Sesampainya di dekat Zena tanpa mengucapkan kata kata apapun Zero meletakkan kotak yang ia bawa di atas nakas membukanya lalu mengambil kapas juga alkohol di tuangkannya ke kapas. Zena yang memperhatikan itu senyum senyum sendiri ternyata Zero penuh dengan teka teki dan butuh rumus untuk memecahkannya, masih fokus pada kapas dan alkohol Zero mengucapkan perkataan yang terduga.

"Jangan ge-er." Titah Zero, Zena kembali menetralkan wajahnya padahal baru saja ia merasa terbang eh sudah di jatuhkan. "Mana tangan lo, gue bersihin." Zena menjulurkan tangannya dengan telaten Zero membersihkan darah yang sudah mengering di lengan Zena. Perhatian Zena tidak luput dari wajah serius Zero ingin rasanya berteriak, perutnya rasanya seperti ada jutaan kupu kupu didalamnya.

Alzero Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang