"Tutuplah auratmu wahai muslimah sebelum Allah menutupnya dalam timbunan tanah."
-2RC-...
Satu minggu berlalu. Semua berjalan normal. Hanya saja ia sudah tak pernah melihat sosok itu lagi. Zahra merasa hidup kembali kosong seperti sebelum-sebelumnya. Bolehkah ia merasa rindu? Sudahlah.
Zahra mendudukan diri di teras masjid sembari mengendorkan tali sepatunya. Masih tersisa satu jam lagi sebelum kelasnya di mulai, ia memilih salat duha.
Salat sunat yang jika Rasul mengerjakannya menjadi sebuah kewajiban. Zahra sedang belajar istiqomah untuk tetap mengerjakannya. Selain sebagai pintu rejeki, salat duha juga menjadi salah satu pintu surga. Namun, ia juga sedang berusaha ikhlas. Bukan karena fadilah, tapi semata Lillahitaala.
"Zahra. Sendiri?" Suara bariton itu membuatnya membeku. Bagaimana tidak? Seseorang yang semula bersayam di pikiran kini berada tepat di depan matanya.
Zahra mendongkak. Kilau keemasan tak mampu menembus punggung kokoh pria itu. Hanya menyisakan bayang-bayang yang merunduk maju.
"Iya, Mas." Hanya itu. Selalu saja, Zahra seakan bungkam jika berada di dekatnya.
"Memangnya yang lain kemana?" Tidak biasanya pria itu banyak bicara dan siapa yang menjadi pusat pertanyaannya. Ah, mungkin saja teman-temannya.
"Ainun beberapa hari ini sibuk sama kuliahnya. Syifa mungkin bentar lagi datang." Sebenarnya ia menebak saja. Sembari melirik arlojinya. Zahra mencoba menghilangkan rasa gugupnya.
"Sudah panas, gak masuk?" Sungguh, ia tidak dapat menyembunyikan senyum. Jantungnya kembali memompa lebih cepat. Bolehkah ia artikan kalimat itu sebagai secuil perhatian?
"Ah, iya. Bentar lagi. Masih nunggu Syifa." Sekali lagi, kegugupan itu melanda. Zahra benar-benar tak tahu cara mengendalikannya. Seseorang, tolonglah dirinya. Waktu seakan menyoraki keheningan yang tak satu pun memecahkannya.
"Kalau begitu saya permisi. Assalamualaikum." Setelah beberapa menit dalam kebisuan, perbincangan berakhir. Untunglah pria itu memilih pamit, lebih baik untuk hatinya.
"Waalaikumsalam." Zahra tersenyum. Hanya dengan melihatnya saja, entah mengapa rasanya melegakan. Namun, sekali lagi ia salah. Tidak seharusnya seperti ini.
Sebagai seorang muslimah seharusnya ia tidak hanya mampu menutup aurat, tapi juga menutup hatinya dengan ketidakhalalan. Namun, mengapa terasa sangat sulit jika sudah berhadapan dengan kaum adam yang satu ini.
"Kamu ngelamunin apa sih?" Suara itu berhasil membuatnya terkejut. Zahra menatap sosok di sampingnya dengan tak percaya.
"Hah? Syifa. Kapan kamu datang?" Gadis itu tersenyum. Zahra merasa sangsi, bagaimana jika sahabatnya itu melihat ia tersenyum sendiri.
"Baru aja. Memangnya ada apa?" Untunglah Syifa baru datang. Setidaknya Zahra bisa merasa lega. Ia menggeleng cepat.
"Tau gak?" Zahra mengerutkan kening. Tahu apa? Sahabatnya ini sebenarnya kenapa. Bagaimana ia bisa tahu kalau Syifa sendiri tidak memberitahunya.
"Gak tahu." Decakan kecil dari bibir di sebelahnya itu membuat Zahta tersenyum. Lucu juga melihat Syifa saat kesal.
"Belum juga mulai Zah."
"Iya-iya. Ada apa Shalihahku?" Sepertinya memang ada sesuatu yang penting. Biasanya Syifa akan menunggu di kelas, tapi hari ini ia sampai mencarinya.
"Ustazah Maryam mau ketemu kamu katanya. Selesai kelas. Bisa kan?" Zahra terdiam. Sebenarnya ia bisa-bisa saja, tapi tidak bisanya Ustazah Marya ingin bertemu jika bukan kajian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Spiritual"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...