35. Di Sudut Tangis

16.5K 1.1K 14
                                    

"Ibarat mawar. Meski bunga itu telah hirap, tapi durinya tetap menancap membuat harap dalam ratap. Mawar itu adalah dirimu, Zahra."
.
.
.
2RC

...

Rona merah di langit perlahan mulai memudar. Guratan keemasan itu sebentar lagi akan pergi bergantikan hitam, seperti malam-malam sebelumnya. Lantunan petang kembali terdengar dari balik microfon. Hanya beberapa menit saja, sebelum ia mengangkat tangan dan berdoa.

Doa yang sama di waktu yang sama. Waktu mustajab. Bukankah di antara doa yang tidak tertolak adalah di waktu ketika hujan turun, sepertiga malam, sujud dalam solat, di hari jumat, serta antara azan dan iqamah.

Dalam doa itu, tak banyak yang ia minta. Hanya Zahranya. Tidak ada yang lain. Kepergiannya terlalu menyakitkan. Sekarang ia mengerti rasanya kehilangan dan rindu. Rindu yang semakin nyata adanya. Waktu yang berdetik membuat degupnya terus berdetak. Sungguh, ia merindukannya.

Setelah menunaikan salat magrib, pria itu kembali diam. Di teras masjid yang hanya menyisakan kebisuan, bayangan wanitanya terus mengusik. Tentang semua yang terjadi belakangan ini. Semua hal yang membuat Zahra menangis dan terluka.

"Kamu harus mencarinya sampai ketemu, umi gak mau tahu, bawa kembali Zahra pulang."

"Zahra enggak salah apa pun. Dia menantu dan istri yang baik. Jangan buat hatinya hancur."

Sekali lagi, ia menyugar rambut yang masih basah. Pikirannya kacau. Kalimat yang dilontarkan uminya beberapa hari lalu kembali terngiang. Setelah kejadian itu, ia menjelaskan semua pada uminya. Begitupun sebaliknya, umi sudah menjelaskan perihal surat dan pernikahannya. Zahranya memang tidak bersalah.

Kini sudah lima hari ia mencari, tapi pencariannya tak membuahkan hasil. Sampai hari ini pun ia tidak memberitahu keluarga Zahra. Ia tidak ingin masalah ini terdengar ke luar, apa lagi sampai membuat orang tua istrinya khawatir.

Sekarang Ali benar-benar frustrasi. Zahranya seolah ditelan bumi. Kepergiannya hanya memberi teka-teki.

"Sebesar apapun masalah itu, bukankah Allah lebih Maha Besar?" Suara seseorang membuat kesadarannya kembali. Bertepatan dengan sebotol air putih yang disodorkan tepat di depan matanya.

"Ada apa?" Tidak ada jawaban. Ia masih menatap tangan yang mengambang di udara. Sekali lagi, ia mengembuskan napasnya berat.

"Zahra pergi." Dua kata yang dilontarkan berhasil membuat pria di sampingnya terhenti. Wajahnya mengeras dengan tangan yang mengepal botol berisi air mineral hingga terdengar suara remasan.

"Pergi?" Kembali Ali mengangguk. Tatapannya beralih ke depan. Entah ia harus berbuat apalagi. Rasanya buntu. Jalannya berada di ujung perbatasan yang gelap dan berkabut.

"Zahra pergi karena tidak ingin menjadi penghalang hubungan saya dan Syifa. Kepergiannya adalah kesalahan saya."

"Sekarang apa yang harus saya lakukan? Saya--"

"Tidak ada." Belum sempat Ali melanjutkan. Suara penuh penekanan itu memotongnya. Ia menatap pria yang masih mengepalkan tangan.

"Apa maksudmu?" Tak habis pikir, mengapa pria itu mengatakannya.

"Setelah hari di mana dia pergi. Kamu tidak pantas lagi." Tatapannya berubah tajam. Mendengar kalimat itu, Ali tidak terima.

"Mengapa saya tidak pantas? Apa karena kamu pantas? Kamu harus ingat, Wildan. Saya adalah suaminya." Nada penuh penekanan terdengar. Pikirannya benar-benar kacau ditambah lagi perkataan Wildan yang tidak bisa diterimanya

Dua Rakaat CINTA [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang