"Tak tahukah? Aku juga terluka, bukan saja mereka."
-2RC-...
Tetes embun berjatuhan menyentuh tanah. Langit pun perlahan menghapus gelapnya. Seusai melaksanakan salat subuh, Zahra pergi ke dapur. Membantu ummi Salamah, membuat menu untuk sarapan.
"Bagaimana tidurmu tadi malam. Nyenyak, Nak?" Zahra menoleh ke arah wanita yang baru saja mematikan kompor.
"Alhadulillah, Ummi." Hanya itu yang bisa ia katakan. Zahra meringis. Meski kenyataannya tidak sesuai yang dibayangkan. Bagaimana bisa nyenyak sementara pria itu memilih tidur di sofa. Ia jadi merasa bersalah.
"Ini ayamnya mau dibuat apa, Ummi?" Zahra kembali mengambil alih tugasnya. Sebenarnya ada sedikit canggung karena ini pertama kalinya ia memasak bersama mertuanya.
"Sudah dicuci? Baluri sama bumbu dulu. Ayamnya mau digoreng." Zahra mengambil bumbu yang sudah ia siapkan sebelumnya. Kemudian memanaskan minyak. Hingga bunyi ketukan terdengar dari luar pintu.
"Mungkin Ali sama abinya baru pulang dari masjid." Seolah tahu apa yang ada dipikiran Zahra, ummi Salamah berkata.
"Kamu lanjutin masaknya. Biar ummi yang buka pintu." Zahra mengangguk kemudian melanjutkan menggoreng ayamnya.
Setelah dirasanya selesai, Zahra menghidangkan semua masakan di atas meja. Ia juga berencana untuk memanggil semua orang. Namun, baru di ujung ruang tamu. Langkahnya terhenti.
Beberapa meter dari tempatnya, ia melihat gadis dengan pasmina cream duduk bersama ummi Salamah. Zahra pikir Mas Ali dan ayah mertuanya. Ternyata itu Ainun, tapi mengapa ia datang sepagi ini?
"Ai mau lanjutin kuliah ke oxford, Inggris. Sama abi di sana."Ummi Salamah terkejut mendengar penuturan dari Ainun. Begitupun dengannya.
Zahra menajamkan pendengaran. Mungkin terkesan lancang karena menguping tanpa izin. Namun, ia penasaran mengapa gadis itu memilih kuliah ke luar negeri.
"Kenapa mendadak sekali, Nak. Apa ada masalah?" Ainun menatap sendu wanita yang sudah ia anggap sebagai umminya itu.
"Masalahnya hanya satu. Ai gak bisa lihat mas Ali sama orang lain, Ummi." Zahra membeku. Kalimat yang diucapkan Ainun begitu memohok dirinya. Gadis itu mengungkapkannya tanpa ragu.
"Ali?" Sekali lagi, wanita paruh baya itu terkejut bukan main. Ia tak pernah menyangka bahwa gadis di sampingnya menyukai anaknya.
"Iya, Ummi. Ai mencintai Mas Ali. Kenapa Allah gak menjodohkan kami?" Gadis itu berhambur ke pelukan ummi Salamah.
Ainun kembali terisak, menumpahkan tangisnya. Sudah cukup terlihat tegar, kenyataannya ia terluka dengan cinta sepihak yang tak pernah berujung. Rasanya hancur melihat pria yang dicintainya bersama orang lain.
"Allah punya rencana terbaik untuk kamu. Percayalah pada Allah." Ainun mendongkak. Ia menggeleng kuat. Semua tidak semudah itu.
"Tapi kenapa, Ummi. Dari semenjak kecil, Ai menyimpan perasaan ini. Mengapa Allah tidak mengabulkan doa yang selalu Ai panjatkan tiap malamnya?" Ainun kembali tergugu. Rasanya menyesakkan. Salahkah ia mencintai sahabat di masa kecilnya?
"Maafin, Ummi. Semua ini salah ummi, jika saja waktu itu--"
"Tidak, Ummi. Semua ini bukan salah Ummi, tapi Mbak Zahra."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Spiritual"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...