"Jadikan akhirat di hatimu, dunia di tanganmu, dan kematian di pelupuk matamu."
-Imam Syafe'i-
.
.
.
2RC...
Zahra berjalan dengan mata tertutup. Masih dengan memakai baju berwarna biru muda yang sering dipakai pasien rumah sakit, kakinya melangkah mengikuti ke mana pria itu membawanya. Perlahan, ikatan putih itu mulai dilepas. Kelopaknya mengerjap pelan.
Zahra mematung, tubuhnya mendadak terhenti. Netra bening itu berbinar bersamaan dengan bibir yang terus saja berdecak kagum. Senyumnya terukir bersamaan dengan tangisan yang jatuh tanpa bisa dicegah.
"Mas, semua ini?" Dengan cepat, Zahra menoleh. Apa yang dilihatnya barusan masih tak dapat dipercaya. Namun, Pria itu mengangguk seolah mengerti ke mana arah pertanyaannya.
Sekali lagi, ia mengerjapkan matanya. Mempertajam penglihatan yang mungkin saja berilusi. Namun, semuanya nyata. Zahra sungguh bahagia. Taman ini indah. Ah, bukan hanya indah. Namun, sangat-sangat menakjubkan.
Ayunan yang terbuat dari kayu itu begitu cantik. Di bagian talinya, mawar putih merambat malu. Belum lagi, di dekat pohon mangga. Kursi panjang itu dipenuhi balon-balon berwarna senada. Bunga-bunga mengelilingi hampir seluruh halaman dengan air mancur di bagian tengahnya.
Allahu Akbar. Bagaimana mungkin ia tidak merasa takjub? Pria itu menyiapkan taman ini bahkan dalam waktu kurang dari satu malam. Entah sejak kapan, tapi seingatnya malam kemarin tidak ada yang berubah. Tamannya masih sama.
"Saya sudah menepati janji itu bukan? Sekarang apa yang akan saya dapatkan?" Pria itu mengedipkan mata membuatnya tak mampu menyembunyikan senyum. Di saat seperti ini, suaminya masih sama menyebalkan. Suka menggoda dan membuatnya malu.
"Terima kasih." Zahra berhambur memeluk pria di sampingnya. Menghirup aroma tubuh itu dan bersandar di dadanya. Hanya dengan begitu ia bisa merasa tenang.
Air mata itu kembali meluncur di pipinya. Sesak dan haru menyeruak, melesak menjadi tangisan. Jika terus seperti ini, ia akan lemah. Hatinya semakin takut. Ali, suaminya begitu mencintainya.
Zahra mengusap matanya yang berair. Tidak, ia tidak boleh menangis di hari yang bahagia ini. Perlahan kakinya melangkah. Hingga suara tangisan membuatnya tersadar.
"Astagfirullah, Alzara." Zahra menoleh ke arah di mana suara berasal. Dengan cepat, ia membawa sosok itu ke pangkuannya. Karena rasa kagumnya, ia sampai melupakan puteri kecilnya. Ah, bahkan ia baru sadar jika bayinya juga ada di sini.
"Bagaimana bisa Mas melakukannya?" Zahra duduk di ayunan itu sementara Ali berdiri di depannya. Pria itu tersenyum. Senyumannya terlampau manis dan membuat siapapun yang melihat akan terpana.
"Jawabannya sama seperti apa yang kamu pikirkan." Bukannya menjawab, pria itu membuatnya bertanya-tanya. Suaminya ini sungguh manis.
"Mas membuat taman ini kurang dari satu malam. Jangan bilang Mas kembarannya Malin Kundang? Eh, bukan Malin Kundang, siapa ya namanya lupa." Pria itu tertawa keras. Memang apa yang salah dari perkataannya? Yang ada dipikirannya hanya itu. Jadi tidak salah bukan.
"Istri saya ternyata benar-benar lucu dan menggemaskan. Sekarang sudah siap terbang?" Ali mengacak-ngacak puncak kepalaya. Membuat khimarnya jadi berantakan. Nah, menyebalkan bukan?
"Jangan tarik terlalu keras, nanti jatuh," cicitnya pelan. Pria itu kembali tertawa. Zahra mengerucutkan bibirnya kesal. Ah, benar-benar menjengkelkan. Memang salah jika dirinya takut jatuh.
"Saya akan membawamu terbang setinggi langit agar nanti saat jatuh, istri saya jatuh di antara bintang-bintang."
Lihatlah? Sekarang pria itu menggodanya lagi. Seperti biasanya. Ia selalu tahu bagaimana cara membuatnya tersipu. Ah, Zahra tahu diambil dari kutipan siapa itu. Suaminya benar-benar pandai sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Espiritual"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...