"Seseorang tidak akan pernah takut kepada selain Allah, kecuali ada penyakit di dalam hatinya."
-Ibnu Taimiyyah-
.
.
.
2RC...
"Pasien mengalami pendarahan pasca melahirkan. Ini terjadi karena beberapa faktor sebelum dan setelah operasi." Wanita berjas putih kembali melihat catatan yang diberikan suster.
"Setelah kami melakukan pemeriksaan. Salah satu penyebab pendarahan ini adalah karena benturan akibat kecelakaan yang mengakibatkan pembekuan darah dan ketuban pecah dini. Satu lagi, apakah pasien melakukan hal yang berat-berat?"
"Pendarahan pasca melahirkan atau yang sering disebut postpartum hemorrhage (PPH) bisa menyebabkan syok hipovolemik dan infeksi pada pelapis rahim (Endometrum) yang akan berakibat fatal."
"Saat ini, kami mencoba untuk menghentikan pendarahan. Namun, jika belum juga ada perubahan. Pasien harus melakukan operasi pengangkatan rahim karena jika tidak secepatnya maka akan membahayakan nyawa pasien."
Pria itu membeku. Raganya seakan mati saat itu juga. Meski tidak sepenuhnya mengerti tentang hal berbau medis. Namun, ia tidak sebodoh itu mengetahui separah apa wanita yang terbaring di sana.
"Lalukan apapun itu untuk kesembuhannya." Hanya itu yang bisa ia ucapkan. Sungguh, pikiranya kacau. Bagaimana bisa Zahranya mengalami semua ini.
"Kami akan berusaha semaksimal mungkin. Operasi akan dilakukan nanti malam." Kembali dokter itu menjelaskan dan memintanya menadatangi persetujuan melakukan operasi sebelum akhirnya mereka meninggalkan ruangan itu.
Pria itu mengusap wajahnya prustrasi. Tidak ada lagi doa yang ia langitkan, selain untuk Zahranya. Ia hanya berharap untuk kesembuhan wanita yang dicintainya.
Ruangan putih itu kembali hening. Hanya ada helaan napas berat keluar dari bibirnya dan jam dinding yang detiknya terus berdetak. Manik hitamnya menatap ke depan di mana Zahra tertidur begitu lelap. Wajah seputih kapasnya begitu rapuh. Ia membawa tangan dingin istrinya dalam genggaman.
Perlahan kelopak itu mengerjap pada secercah cahaya yang semakin lama semakin terlihat jelas. Zahra terbangun, pupil itu langsung menangkap sebuah potret yang begitu dikenalnya. Ali berada di samping dan memegang tangannya. Namun, ia tidak menyadari kehadirannya. Zahra hanya melihat kekosongan di matanya.
"Mas." Seakan tersadar dari lamunan, pria itu terperanjat. Manik matanya gelagapan, meski tidak begitu kentara.
"Alhamdulillah, kamu sudah sadar Zahra. Saya bahagia." Tangan itu memegangnya semakin erat. Namun, tidak ada segaris senyum sama sekali di wajahnya. Berbanding terbalik dengan kalimat yang diucapkannya. Pria itu tidak bisa membohonginya.
"Tidak. Mengapa Mas melamun dan murung seperti tadi. Jika aku yang sedang Mas pikirkan. Sungguh, aku baik-baik saja Mas." Setelah menyandarkan tubuhnya. Zahra mengusap wajah pria di depannya. Wajah yang akan selalu ia rekam dalam ingatan.
Bibirnya melukiskan senyum, meyakinkan pria itu bahwa ia baik-baik saja. Memang apa yang terjadi padanya? Ia hanya kelelahan. Namun, mengapa Ali begitu mengkhawatirkannya? Netra itu memandangnya lamat-lamat. Tatapan yang hanya menyiratkan sendu.
"Tidak ada sesuatu yang paling disukai oleh setan, melainkan melihat seorang mukmin berhati murung," jelasnya. Zahra masih mengingat kalimat yang diucapkan Ibnu Qayyim.
"Mas harus tersenyum. Seperti ini." Tangannya mengangkat kedua sudut bibir itu membentuk lekungan sabit. Hanya dengan melihat prianya tersenyum saja itu sudah lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Spiritual"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...