"Berapa banyak manusia yang masih hidup dalam kelalaian. Sedangkan kain kafan sedang ditenun."
-Imam Syafe'i-
.
.
.
2RC...
Suara sirine ambulans terngiang begitu nyaring membuat kepalanya terasa berputar. Napasnya sudah tak beraturan bersamaan dengan tubuh yang mulai lemah. Tak lama setelah itu. Beberapa orang berbaju putih datang membawa brankar.
Roda bergulir memecah keramaian lorong rumah sakit. Masih seperti sebelumnya, Zahra menatap pria yang terbaring tak berdaya. Kembali ia menangis melihat kelopak itu tertutup rapat. Cairan merah kental bahkan mengotori hampir seluruh kemeja putihnya.
Hatinya dipenuhi ribuan sesak. Pria itu bisa seperti ini karena dirinya. Kecelakaan tidak mungkin terjadi jika ia tidak mencoba untuk berpaling. Ah, seharusnya ia tidak seperti ini. Bukankah ini takdir? Namun, sungguh rasanya sulit."Maaf, Mas. Semua ini salahku." Zahra kembali menatapnya. Air mata itu kembali jatuh.
Baru saja ia akan meraih tangan yang terkulai lemah. Namun, nihil. Brankar itu membawanya pergi dan hilang dari pandangan. Ali masuk ke ruangan di ujung sana ditemani Wildan. Sementara dirinya masuk ke ruangan lain.
"Astagfirullahalazim. Laa Haula Walaa Quwwata Illabillah."
Zahra memejamkan matanya. Bibirnya tak henti beristigfar sembari merintih menahan sakit yang teramat sangat. Dicengkram kuat seprai rumah sakit. Napasnya semakin tak beraturan.
"Kamu kuat, Zahra. Sebentar lagi dokternya datang." Syifa menggenggam erat tangan yang mulai dingin itu. Zahra mengembuskan napasnya. Ada rasa haru melihat sahabatnya seperti ini.
"Mengapa-- kamu melakukan ini, Syifa? Kamu masih baik padahal aku sudah jahat." Syifa menggeleng kuat. Melihat sahabatnya seperti ini, ia tidak bisa menahan tangis. Rasanya ia juga hancur.
"Tidak, Zahra. Semua ini bukan salahmu--" Kalimat itu terhenti ketika wanita berseragam putih datang bersama dua suster di belakangnya. Syifa memilih mundur, membiarkan petugas medis menangani Zahra.
"Benturan keras pada pasien menyebabkan pendarahan hebat, Dok." Suara salah satu suster memberi penjelasan. Sembari memeriksa keadaan Zahra, wanita dengan snelli itu mendengarkan.
"Air ketuban juga pecah sebelum waktunya, diperkirakan kandungan baru menginjak usia tujuh bulan," lanjutnya. Zahra terus saja menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit yang semakin tak tertahan.
"Sudah tidak ada waktu lagi. Saya membutuhkan satu asisten dan dokter anestesi. Siapkan peralatan dan juga ruangan operasinya."
"Baik, Dok." Kedua suster itu pun pergi, menjalankan istruksi.
"Apakah anda wali pasien?" Syifa terlonjak kaget mendapatkan pertanyaan yang tiba-tiba. Ia menggeleng pelan.
"Saya-- sahabatnya, Dok. Suaminya tidak sadarkan diri di ruangan lain dan keluarga masih di perjalanan. Ada apa Dok?" Syifa benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ia bingung karena di sini hanya ada dirinya saja.
"Kami harus melakukan penanganan secepatnya. Kesadaran pasien sudah mulai menurun. Pasien harus segera dioperasi." Dokter itu menjeda kalimatnya.
"Tapi jika melakukan operasi pengangkatan janin, kemungkinan besar janin tidak akan selamat. Mengingat usianya baru memasuki trisemester akhir dan karena pendarahan ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Duchowe"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...