18. Maaf, Cinta

13.9K 1.1K 19
                                    

"Sebaik-baik pengusir kesedihan adalah rela dengan ketetapan Allah."
(Ali bin Abi Thalib)
-2RC-

...

Malam semakin terjaga. Pria itu menatap bagunan dengan dua lantai. Tangannya terkepal kuat disertai gejolak yang tak kalah hebat di hatinya. Namun, sebisa mungkin ia menahan. Tidak ingin terlena oleh napsu dan melawan amarah yang datangnya dari setan.

Tiga hari ini, ia mencoba untuk berdamai dengan keadaan. Menerima takdir yang seolah tengah mempermainkannya. Namun, mengapa rasanya sulit. Setiap langkah seperti duri tajam membelukar atau pecahan kaca yang menusuk.

"Ummi tahu kamu mencintai Syifa, tapi istrimu adalah Zahra. Memang tidak mudah untuk menerima semuanya, tapi sekarang dia tanggung jawabmu."

"Apakah tidak bisa sedikit saja kamu memikirkan bagaimana hatinya. Ia bersedia menjadi pengganti Syifa, menaruhkan masa depan hanya untuk ikatan yang bahkan suaminya tidak menerimanya."

"Syifa memang sahabatnya, tapi meskipun begitu Zahra tetap istrimu. Apa yang akan dia pikirkan jika setiap malam suaminya menemui wanita yang dicintainya."

"Ummi mohon, berjanjilah, Nak. Ini yang terakhir."

Pria itu memejamkan mata. Mengembuskan napas dalam-dalam. Tangannya kembali terkepal. Kalimat yang dikatakan umminya terngiang, membentuk rangkaian puzle. Membuat kepalanya berdenyut.

Apakah umminya tidak memikirkan perasaannya? Ia juga terluka dengan pernikahan ini, bukan hanya Zahra.

Pria itu kembali melangkahkan kakinya. Perlahan membuka pintu dan terhenti ketika manik matanya menatap gadis yang tertidur di sofa. Masih dengan memegangi perutnya.

"Mengapa, Zahra? Dengan seperti ini. Kamu hanya akan menyakiti diri sendiri." Gadis itu masih terlelap bahkan tidak terusik dengan suaranya yang hilang terbawa angin.

Wajahnya menenangkan. Meski tanpa polesan, ia masih terlihat cantik. Pria itu tidak akan mengelak. Zahra nyaris sempurna. Netranya selalu memancarkan ketulusan. Pipinya akan memerah setiap kali malu.

Namun, semua tidak bisa membuat jantungnya bergetar. Seperti ada tabir yang membentang. Membuatnya tak bisa memberi satu ruang dalam hatinya.

"Maaf, Zahra. Semua salah saya. Membawamu dalam hubungan rumit ini adalah kesalahan." Pria itu bangkit. Pergi ke kamar dan mengambil selimutnya. Kemudian kembali ke ruang tengah. Setidaknya hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang.

Perlahan ia menutupi hampir seluruh tubuh Zahra. Sekali lagi, ditatapnya dalam gadis yang terlelap itu. Sebelum langkahnya mulai menjauh.

Maaf, Zahra. Saya mungkin tidak akan bisa mencintaimu.

...

Netranya mengerjap, menyesuaikan dengan keremangan. Jarum jam kini berhimpit di angka tiga. Itu artinya hampir semalaman ia tidur di sini. Rasanya pegal. Zahra bangkit. Namun, sesuatu yang menutupi tubuh membuatnya terhenti.

Ditatapnya lekat selimut abu itu. Meski ia tidak tahu siapa yang telah melakukannya. Namun, Zahra yakin pasti pria itu. Suaminya. Memang siapa lagi jika bukan dirinya? Mereka hanya tinggal berdua.

Dua Rakaat CINTA [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang