"Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya."
(HR. Thabrani)
-2RC-...
"Saya tahu. Pernikahan ini bukanlah keinginanmu. Namun, pernikahan adalah ibadah seumur hidup. Jika Zahra yang Allah takdirkan, maka terimalah. Sesungguhnya rencana Allah, itulah yang terbaik." Ia terdiam. Mendengarkan nasihat pria paruh baya di depannya.
Di sinilah pria itu sekarang, menceritakan semua masalahnya. Seminggu ini hatinya benar-benar tidak tenang. Amarah dan kekecewaan seolah menutup matanya. Sekuat mungkin ia menerima takdir. Namun, rasanya sulit. Ia seakan terpenjara di dalamnya.
"Tapi, Ustad. Semua ini tidak adil terutama untuk Syifa." Pria itu menjeda kalimatnya. Hatinya kembali sesak.
"Apa yang akan dia dapatkan? Setelah kecelakaan ini, saya tidak bisa menyakitinya. Bukankah Syifa juga berhak bahagia?"
"Apakah ini juga adil untuk Zahra?" Pria itu membeku. Bibirnya dibuat bungkam. Kalimat yang diucapkan Ustad Malik benar-benar memohoknya.
Ali tak tahu harus berbuat apa sekarang. Hatinya kembali dikerubungi keraguan. Benarkah ia telah berbuat tidak adil kepada Zahra. Namun, bukankah akan lebih tidak adil jika ia mengikat gadis itu?
"Saya tahu tidaklah mudah. Namun, percayalah. Allah tidak akan membebani seseorang di luar kemampuannya. Bukankah di setiap kesulitan selalu ada kemudahan?" Ustad Malik menepuk-nepuk pundak pria itu.
"Lalu apa yang harus saya lakukan? Saya tidak ingin menyakiti keduanya. Saya hanya mencoba berlaku adil." Ali menatap pria yang selalu dihormatinya. Hanya itu yang bisa ia lakukan.
"Kenyataannya Zahra juga tidak pernah menginginkan hubungan ini. Zahra tidak mencintainya saya. Jadi salahkah jika saya ingin membebaskannya dari hubungan ini?" lanjutnya.
"Istigfar, Nak. Jangan berkata seperti itu." Perkataan Ustad Malik menyadarkannya. Ali mengucap istigfar berkali-kali. Bingung dan resah bercampur menjadi satu.
"Berilah kesempatan untuk hubungan ini. Bukankah kamu sendiri tahu, perceraian adalah sesuatu yang Allah benci?" Apa yang dikatakan Ustad Malik memang benar. Ali juga tahu itu. Namun, menerapkannya tidaklah semudah yang dibayangkan.
"Kamu adalah pria baik dan paham agama. Bukankah selama ini kamu tidak pernah ingin menyakiti wanita."
"Lalu apakah perceraian tidak menyakitkan?"
Benar. Sekali lagi, ia seolah tertampar oleh perkataan itu. Bibirnya seakan bisu, meski hanya mengucap satu kata pun. Apakah selama ini yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan.
Salahkah jika pria itu mencoba berlaku adil? Ia hanya tidak ingin menyakiti kedua gadis itu.
"Pikirkanlah baik-baik. Bi idznillah, saya yakin kamu akan menemukan jawabannya."
"Sudah masuk waktu ashar. Mari, kita salat dulu." Pria itu mengangguk kemudian mengambil microfon. Mengumandangkan azan.
...
Zahra keluar dari ruangan sahabatnya. Masih sama, Syifa belum menunjukkan tanda akan sadarkan diri. Di depan ruangan, hanya ada ummi Kaila dan ustazah Maryam yang tengah berbincang. Itu berarti teman-temannya sudah pulang lebih dulu.
Zahra memang menjenguk Syifa bersama dengan teman kajian sekaligus kampusnya. Sudah satu minggu, ia tidak datang ke sini untuk melihat kondisi sahabatnya.
"Zahra. Kamu mau pulang sekarang, Nak?" Wanita dengan khimar palestina itu mendekat.
"Sebentar lagi. Ustazah duluan aja. Zahra nanti bisa pulang sendiri," jawabnya. Zahra melirik arloji di pergelangan, tak terasa sudah masuk waktu isya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Spiritual"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...