"Libatkanlah Allah dalam setiap perbuatan, termasuk menempatkan satu nama untuk singgah dalam doa."
-2RC-...
Di dekat jendela, gadis dengan gamis semata kaki masih tak bergeming, mengamati lembaran berisi grafik yang terdapat dalam buku tebal bersampul putih. Sesekali tangannya mengetikkan sesuatu di layar untuk melengkapi tugas kuliahnya.
Ujung khimarnya sedikit terangkat karena tertiup angin, tapi tak sedikit pun membuatnya terganggu. Setelah dirasanya cukup, gadis itu mematikan laptop dan membereskan buku-buku yang berada di meja.
"Alhamdulillah, selesai. Eh, Syifa kok belum datang?" tanyanya pada diri sendiri sembari melirik arloji yang melingkar. Namun, tak berselang lama benda pipih berwarna silver miliknya bergetar menandakan pesan telah masuk.
Ia sudah menduga bahwa Syifa akan terlambat. Tak berniat membalas pesan dari sahabatnya, gadis itu bangkit dan menyimpan beberapa buku di rak. Langkah kakinya langsung tertuju pada meja petugas perpustakaan.
"Assalamualaikum, Mbak. Zahra mau ambil pesanan kemarin." Zahra menghampiri wanita dengan khimar hitam sembari tersenyum. Ia memang sudah mengenal wanita itu karena sering datang ke perpustakaan.
"Waalaikumsalam. Novel Sayyidah Fatimah r.a itu, ya?" Zahra menggangguk sebagai jawaban. Wanita di hadapannya mengambil bungkusan berwarna coklat dan memberikannya kepada Zahra.
"Ini pesananya, mbak sudah siapin khusus buat kamu," ucapnya ramah.
"Syukron, Mbak. Kalau gitu Zahra pamit sekarang, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, hati-hati di jalan." Zahra kembali mengangguk dan mulai melangkah pergi. Namun, baru saja sampai di depan perpustakaan, seseorang menabraknya dari belakang.
"Innalillahi." Zahra tersungkur ke lantai karena dororang keras yang datang dari arah berlawanan. Buku-buku berserakan, untung saja laptop miliknya tidak sampai terpental jauh.
"Afwan, saya benar-benar tidak sengaja. Saya harus pergi sekarang." Zahra masih bungkam, tak mampu berkutik. Sementara pria yang menabraknya telah menjauh setelah membereskan buku-buku berserakan tadi.
Pria itu? Bagaimana mungkin ia tak mengenalnnya.
Muhammad Ali Al-Ghifari, pria bermata elang itu selalu menjadi perbincangan para gadis di kampusnya. Wajah tegas berkharisma membuat sebagian kaum hawa terpesona. Belum lagi, pandangannya tentang islam patut diacungi jempol.
Astagfirullahalazim! Zahra segera menyadari kesalahannya, harusnya ia bisa menjaga pandangan bukan terjerumus oleh rayuan syetan untuk berzina pikiran. Namun, dari sekian banyak pria di kampusnya, mengapa harus dia.
Zahra menutup mata dan terus merapalkan istigfar, meminta ampunan. Ia tahu ini sebuah kesalahan, tapi sulit untuk mengendalikan hatinya. Apalagi pria tadi telah lama menjadi perbincangannya dengan Allah. Seperti inikah sulitnya mencintai dalam doa?
"Zahra!" Suara lembut menghentikan lamunan singkatnya. Sesosok gadis memakai gamis biru polos dengan khimar senada terpongoh-pongoh di depannya.
"Maaf, telat lagi," ucapnya sembari menghirup oksigen lebih banyak. Wajah polos tak berdosa disertai senyum tipis membuat Zahra semakin kesal. Namun, meski begitu ia tak pernah bisa marah pada sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Spirituale"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...