39. Pulanglah & Tinggal

18.1K 1.2K 2
                                    

"Doa yang paling cepat dijawab adalah yang dilakukan secara rahasia untuk orang lain."
-Ibnu Taimiyyah-
.
.
.
2RC

...

Beberapa bulan ini, telah banyak yang berubah. Semenjak kepergian seseorang, hidupnya kini tak lagi sama. Meski sulit, bersama waktu keadaan mulai baik-baik saja. Ia mulai menata kembali apa yang telah rapuh dan runtuh.

Tidak. Bukan karena luka itu sembuh maupun rindu yang tak lagi tumbuh. Percayalah, nyatanya rindu itu masih tetap utuh. Tidak pernah terkikis sedikit pun. Dirinya masih milik Zahra.

Ini semua hanya tentang bagaimana ia berdamai dengan hati. Menerima dengan lapang jalan takdir tanpa harus banyak berpikir. Ia hanya perlu ikhlas dan sabar meski menunggu tanpa kabar. Mungkin saja Allah mempunyai rencana yang lebih indah.

Seperti hari ini, kedua pria beda usia itu duduk di ruang tamu sembari berbincang ringan. Setiap minggunya, hampir tidak pernah terlewat. Ali akan menyempatkan diri meski hanya sekedar bersilaturahmi.

"Beberapa bulan ini saya lihat kamu banyak berubah. Semoga selalu istiqomah, Nak."

Kalimat yang dilontarkan ustaz Malik terlalu berlebihan. Ia tidak berpikir jauh ke sana, hanya saja setelah yang terjadi belakangan ini. Ia merasa semakin dekat dengan Allah. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa Allah membuat Zahranya pergi.

"Aamiin. Insyaa Allah saya akan belajar lebih giat lagi, Ustaz," jawabnya. Pria paruh baya itu mengangguk. Seulas senyum yang menenangkan selalu tampak di wajah yang sudah tak lagi muda.

"Jadikanlah pengalamanmu sebagai jendela dunia. Apapun yang terjadi, ingatlah Allah tidak akan pernah pergi. Allah selalu bersama dengan hambanya."

"Sesungguhnya bersama kesulitan selalu ada kemudahan." Sekali lagi, Ali tersenyum sembari megangguk. Ia akan selalu mengingat setiap petuah pria berumur di depannya.

Ali mengambil teh yang mulai dingin. Meneguknya hingga tandas. Tidak ada lagi perbincangan. Ia menikmati keheningan ini.

"Perihal nak Zahra, bagaimana? Masih tidak ada kabar tentangnya?" Terdiam sejenak. Pria itu kembali menyimpan cangkirnya kemudian menggeleng. Sejak hari di mana Zahra pergi, tidak pernah ada kabar tentang istrinya itu. Wanitanya seolah ditelan bumi.

Apakah dirinya rindu? Tentu saja. Bahkan saking rindu, ia pernah mengira Zahra menghubunginya. Namun, tidak. Sebelum memastikannya, ia tidak bisa menyimpulkan. Meski suara tangis malam itu persis seperti suara istrinya.

Sungguh, ia tidak ingin berharap lebih kepada manusia. Sudah cukup harap itu memberinya kecewa dan luka. Kini, ia hanya bisa melangitkan doa. Berharap Zahranya selalu baik-baik saja.

"Mungkin belum waktunya. Allah masih ingin kalian lebih bercermin lagi, saling memantaskan diri." Seakan tersadar dari lamunan, Ali kembali menatap ke arah lawab bicara.

"Bi Idznillah. Di saat yang tepat, pertemuan itu tak akan lagi salah tempat."

Kalimat demi kalimat yang dilontarkan ustaz Malik sedikit banyak menjadi kekuatannya. Benar, ia hanya harus yakin bahwa Allah akan mempertemukan mereka.

"Selalu ada jalan dalam kebaikan. Kalian bukan lagi bertemu untuk saling memberi luka, tapi menjalin awal yang baru menuju surga. Insyaa Allah." Ali mengaminkan perkataan ustaz Malik barusan.

Semoga itulah yang akan terjadi nanti, tidak akan ada lagi air mata. Selama tujuh bulan ini ia menyibukan diri. Tidak mudah. Setelah banyaknya duri dan rintangan, ia melewati masa pahit itu sendiri. Semoga akhirnya lebih baik.

Dua Rakaat CINTA [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang