5. Ternyata Bukan Dia

15.5K 1.3K 14
                                    

"Jika Allah membimbingmu untuk mengingat-Nya. Itu adalah tanda bahwa Allah cinta padamu."
(Ali bin Abi Thalib r.a)
-2RC-

...

Dua minggu berlalu seperti ribuan detik, rasanya jarum jam berputar begitu cepat. Baru saja kemarin dirinya ditunjuk menjadi salah satu panitia kegiatan halaqah. Setengah jam yang lalu, rapat terakhir sebelum keberangkatan.

Zahra, gadis bergamis biru yang dipadukan dengan blezer senada itu termenung di dalam mushola. Ditemani Syifa dan Ainun yang sudah lengkap dengan kain putih berbordirnya. Waktu zuhur segera tiba, tapi gadis itu belum mengenakan mukena miliknya.

Zahra merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Sesak hingga air mata mengenang di pelupuknya. Selama beberapa minggu ini harinya begitu berwarna, tapi mungkin sebentar lagi semua berakhir. Waktu akan kembali mengikiskan pertemuan, hanya potret kenangan yang tersimpan dalam memorinya.

Perpisahan belum terucap. Namun, sekarang saja rasanya menyakitkan, apalagi nanti setelah kegiatan halaqah selesai. Apakah setelah ini tak akan ada alasan lagi untuknya melihat sosok itu?

"Mbak Zahra, kenapa mukenanya belum dipakai? Bentar lagi azan loh." Suara berisik itu menulikan telinga Zahra, membuat gadis itu tersadar.

"Ah, iya." Zahra segera mengenakan kain putihnya sembari tersenyum simpul pada kedua gadis di sampingnya.

"Mbak lagi ada masalah?" Mendengar pertanyaan Ai, Zahra mengelengkan kepala. Bukan tak ingin bercerita, tapi ia tak tahu ada apa dengan hatinya.

"Kamu beneran gapapa, Zah? Kalau mau, kamu bisa cerita sekarang." Kini suara lembut itu mengalun membuat Zahra ingin menangis di hadapannya. Namun, ia urungkan hanya dengan seulas senyum dan memilih memalingkan muka.

Zahra membenarkan tali pengikat mukenanya, tapi tangannya terhenti ketika pengeras suara dihidupkan. Jantung Zahra mendadak berhenti, harapannya kembali hadir mengingat pengumandang azan waktu itu.

Entah mengapa, hanya saja Zahra ingin mendengar lantunan menenangkan itu. Berharap bisa menjadi pengobat hati yang kini gundah. Indra pendengaran dipertajam, tangan mungil meremas mukena yang dikenakan. Zahra kembali memejamkan mata, menunggu kalam Allah terdengar.

Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Suara itu lagi!
Persis sama dengan suara yang didengarnya.

Semua bebannya seketika menguap terbawa laju angin yang berembus. Zahra sadar bahwa Allah tak ingin diduakan, tapi ia tetap mencari yang lain. Tak seharusnya ia mencintai sesuatu melebihi cintanya pada Allah.

Zahra lagi-lagi terhanyut dalam lantunan merdu itu. Bait demi bait membuatnya gemetar, ia tak tahan untuk tidak mengeluarkan beningnnya. Ia kembali menangis dalam diam. Allah sangat dekat, benar-benar dekat.

Zahra menghentikan tangisnya, ia segera membaca doa sesudah azan. Teringat rasa penasarannya, ia segera mendekat ke arah kayu berukir.

Zahra kembali membeku ketika melihat seseorang di depan sana. Tangan tegas itu baru saja akan menyimpan alat pengeras suara. Jasket biru yang dipadukan dengan celana sayur hitam serta peci senada membuatnya mengenali dengan jelas.

Pria itu berbalik dan benar dugaannya. Bagai dihantam batu besar, ia kembali bergemuruh. Bukan! Bukan karena detak jantungnya, tapi karena sesuatu lain yang berbeda.

"Mas Wildan," gunam kecil terlontar dari bibir merah muda itu. Ada rasa sesak di lubuk hatinya ketika harapan tak sesuai kenyataan. Kenapa ia selalu berharap kepada pria yang sama?

Harusnya ia tak perlu berharap lebih.

...

"Mbak Zahra." Gadis mungil itu menepuk pundak Zahra membuatnya tersadar dari lamunan. Lagi-lagi ia masih memikirkan sosok itu, rasanya menyesakkan.

"Ah, iya. Ada apa Ai?" Zahra tersenyum canggung, berusaha menormalkan perubahan pada wajahnya. Ia dapat melihat raut keheranan dari kedua gadis di sampingnnya.

"Ini Ai bingung, adonannya kurang apa? Mbak Zahra ditanya malah gak jawab." Ai kembali mencairkan keheningan. Zahra meringis menderangar curhatan Ai, ia jadi merasa bersalah karena telah mengacuhkannya.

Setelah pulang dari masjid, Ainun terus memaksa Zahra untuk mengajarkannya cara membuat cupcake tentunya dengan Syifa juga. Jadilah di sini mereka sekarang, rumah besar bercat hijau milik orangtua Ainun.

"Oh, ini kurang mengembang. Coba mixer lagi sampai warna adonannya putih, tambahin juga baking powder sesuai takaran tadi."

"Nah chef udah kasih intruksi tuh. Aku udah siapin butter cream, terigu sama coklat bubuknya. Tinggal nunggu adonan punya kamu, Ai." Syifa ikut menimpali dengan sedikit gurauan. Gadis itu tahu bahwa sahabatnya sedang ada masalah, hanya saja ia tak tahu apa masalanya.

"Mbak Syifa sabar dulu, 'kan Ai pusing."

"Sini, aku yang lanjutin. Ai siapin cup sama panasin oven aja." Zahra mengambil alih pekerjaan Ai, mulai mengaplikasikan kemahirannya. Baginya, membuat cupcake adalah sebuah hobi paling mengasikkan dan setidaknya bisa sedikit mengurangi kegelisahan pada hatinya

"Siap Mbak Zahra, tapi Ai mau nyuri dulu coklat dari Mbak Syifa." Ai menunjukkan jurus mengendap-ngendapnya, berjalan perlahan ke arah Syifa.

"Loh, nyuri kok bilang-bilang sih Ai." Syifa menjauhkan adonan yang dibuatnya membuat Ai mengerucutkan bibir.

"Namanya juga pencuri shalehah, jadi kalau mau nyuri ngasih tahu dulu. Betul 'kan, Mbak Zahra?"

"Iya, pencuri shalelah." Semuanya tertawa karena ulah Ai, ada-ada saja tingkah anehnya.

Ai yang merasa menang, menyuraki Syifa. Sementara Syifa, gadis lemah lembut itu mencubit pipi Ai dengan tangan yang penuh dengan terigu. Ai yang tak mau kalah kembali membalas dan perang terigu pun terjadi.

Satu jam berlalu, akhirnya cupcake telah matang. Setelah membereskan kekacauan yang ada di dapur, mereka duduk di meja makan. Namun, ketika hendak memakan kuenya, seseorang turun dari lantai atas.

"Mas Wildan baru datang ya. Gimana tadi pertemuannya sama Ustadz Malik?"

"Alhamdulillah sudah." Wildan menjawab cepat, tampak sekali pria itu sedang tergesa-gesa.

"Mas, mau pergi ke mana lagi? Ai baru aja buat cupcake enak." Ai bertanya kembali.

"Mas harus ke rumah sakit, abinya Mas Ali kritis lagi pasca operasi." Jawaban Wildan membuat ketiga gadis itu tersentak kaget. Apalagi Zahra yang seketika menghentikan gerakan tangannya, hatinya berdebar hebat.

Zahra tak mampu berucap satu kata pun, pikirannya menerka-nerka. Ia tak bisa membayangkan betapa terpuruknya sosok itu sekarang. Semoga abinya selamat.

"Innalillahi. Serius, Mas? Terus Mas Ali di mana?" Ai menghampiri pria itu, raut khawatir jelas terlihat. Zahra dan Syifa ikut bangkit dan menghampiri keduanya.

"Serius. Ali sudah di rumah sakit sejak tadi siang, makanya dia mengamanahkan Mas untuk bertemu Ustadz Malik."

"Ai ikut ya, Mas. Ai mau lihat kondisi abi Abdullah."

"Terus gimana Zahra sama Syifa?" Wildan mengisyaratkan lewat tatapan singkatnya.

"Boleh kami ikut juga?" Bukan Zahra yang berbicara, melainkan gadis di sampingnya. Syifa.

Dua Rakaat CINTA [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang