"Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu."
.
.
.
2RC...
Semburat jingga menggores langit, menandakan bahwa senja telah bertakhta. Zahra menatap ke luar jendela, angin berembus menggelitikinya dan pepohonan yang saling berkejaran.
Sore ini, ia dan pria yang kini sedang fokus menyetir itu akan ke rumah ummi Hasmia. Umminya sedang sakit. Itulah mengapa tadi pagi ia menelpon. Sungguh Zahra merasa bersalah sekaligus kecewa. Ia telah lalai memerhatikan kedua orangtuanya.
"Biasanya kamu akan tertidur jika berada di mobil." Suara itu menyadarkannya. Zahra menoleh. Pria itu tersenyum sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke depan.
"Ah, benarkah? Mungkin hanya kebetulan," jawab seadanya. Sebenarnya bukan karena itu ia beberapa kali tertidur di mobil. Namun, kecanggungan dan keheningan yang menyelimuti mereka waktu itu membuat matanya mengantuk.
Sudahlah, ia tidak ingin membahasnya. Hatinya sedang tidak baik-baik saja. Yang diinginkan sekarang adalah umminya.
"Sudah sampai." Zahra menoleh. Benar. Tak terasa mereka memang sudah berada di depan rumahnya. Zahra membuka pintu mobil dan berlari. Sudah lama ia tidak melihat kedua orang tuanya. Ia sangat merindukannya.
"Tunggu, Zahra." Pria itu menatap sekilas kemudian menggenggam tangannya. Berjalan beriringan seperti sepasang pada umumnya. Seolah ada cinta di matanya. Apakah semua ini hanyalah sandiwara seperti novel yang pernah ia baca.
"Nah, pengantin barunya sudah datang." Suara itu membuat mereka serempak menatap ke depan. Zahra terkejut begitupun suaminya.
"Ummi ada di sini?" tanya pria itu ketika melihat wanita paruh baya yang tak lain adalah umminya.
"Iya. Memangnya kenapa? Tidak bolehkah ummi melihat menantu kesayangannya?" Ummi Salamah mendekat dan menarik Zahra dalam pelukannya.
"Ayo, Nak. Kita masuk temui ummimu." Zahra mengangguk. Ia benar-benar ingin bertemu umminya. Tanpa memerdulikan Ali, kedua wanita itu pergi.
"Masuklah, Nak," perintahnya setelah berada di depan pintu. Ummi Salamah mengisyaratkan untukknya masuk. Perlahan Zahra membuka pintu, wanita yang tak lagi muda itu tengah berbaring di sana.
"Ummi." Ia berlari menghampiri umminya. Dadanya begitu sesak hingga ia tak bisa menahan tangis. Zahra menenggelamkan wajah di tangan umminya.
"Zahra, kemari Nak. Duduk di samping ummi." Zahra memeluk umminya, menumpahkan kesedihan yang memenuhi relung hatinya. Betapa ia telah berdosa, melupakan wanita yang berjasa dalam hidupnya.
Wanita itu kini mulai menua. Mengapa ia bisa tidak menyadari perubahan itu, kulit yang mulai keriput dan wajahnya terguratkan kelelahan.
"Sudah. Jangan menangis. Ummi baik-baik saja." Tangan lemah itu mengusap bening di wajahnya. Dipeluk kembali puteri semata wayangnya. Tanpa sadar, wanita paruh baya itu meneteskan air matanya. Puteri kecilnya kini sudah dewasa. Ia bahkan mempunyai rumah dan tanggung jawabnya sendiri.
"Ummi rindu. Kenapa puteri kecil ummi gak pernah ke sini lagi? Kamu gak lupa ummi 'kan?"
"Maafin Zahra, Ummi. Zahra tidak bisa menjadi puteri kecil kesayangan ummi yang terbaik." Zahra menatap manik itu, hitam di sekitar matanya begitu tampak kentara. Mengapa Zahra bisa melewatkan umminya yang mulai menua.
"Zahra juga rindu Ummi." Sekali lagi, ia tak mampu menahan beban ini. Melihat ummi membuatnya seakan terlempar kenyataan. Betapa ia telah melupakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Spiritual"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...