"Menaruh harapan tidak sesuai tempat, maka kecewa pun tidaklah tepat."
-2RC-...
Beberapa hari ini, Zahra merasa ada sesuatu yang berbeda dari Ainun. Meski beberapa minggu, gadis itu disibukkan dengan tugas kuliahnya. Namun, ia merasa sepertinya Ainun tengah menghindar.
Setelah berpikir panjang dan tidak ingin bersuudzon, makanya siang ini baik Zahra maupun Syifa akan menemuinya. Bertanya sekaligus mengajaknya kajian mingguan.
Setelah mencari-cari. Zahra menemukan Ainun di ujung koridor fakultas yang kemungkinan besar kelasnya sudah selesai.
"Ainun." Langkahnya terhenti. Namun, gadis itu dengan cepat membalikkan badannya membuat Zahra semakin yakin ada sesuatu yang terjadi.
"Ai kamu ikut kan kajian mingguan? Kita barengan ke sananya ya." Syifa menghampirinya lebih dulu. Setelah bisa menyamai langkah gadis itu.
"Kalian duluan aja." Jawabannya dingin. Seperti bukan Ainun yang ia kenal. Tidak ada lagi keceriaan dan keramahan dari wajahnya.
"Kamu kenapa? Kalau lagi ada masalah, kamu bisa cerita sama kita." Seperti itulah Syifa, gadis itu selalu sepengertian ini. Ia tidak pernah ingin orang terdekatnya mengalami masalah.
"Aku gapapa, Mbak Syifa. Aku pergi dulu." Ainun berjalan, melewati Zahra tanpa meliriknya sama sekali. Zahra sekarang yakin bahwa Ainun sedang menghindarinya.
"Tunggu, Ainun." Mau tak mau Zahra menariknya. Ia hanya tidak ingin ada kesalahpahaman jika memang ini menyangkut dirinya.
"Aku gak tahu apa yang terjadi, tapi Ainun yang aku kenal tidak seperti ini. Apa aku atau Syifa buat salah sama kamu?" Ainun menatapnya, sekarang barulah ia melihat ketajaman pada manik itu.
"Salah? Kalian gak salah." Perkataannya terjeda, jelas sekali gadis itu seperti tengah menahan amarahnya.
"Aku yang salah karena percaya sama kalian, terutama Mbak Zahra!" Kalimat itu sangat menusuk, penuh dengan penekanan. Apa yang telah dilakukannya hingga membuat Ainun marah.
"Aku minta maaf. Aku gak tahu apa yang aku lakukan hingga kamu--"
"Maaf? Tidak perlu. Seharusnya bukan untuk aku, tapi Mas Wildan." Zahra terkejut. Sekarang ia mengerti ke mana arah pembicaraan ini. Hampir saja ia melupakan bahwa Ainun adalah adik dari pria itu. Mengapa ia tidak berpikir ke sana?
"Mbak tahu? Mas Wildan sangat mencintai Mbak Zahra. Setiap malamnya, tak pernah terlewatkan ia meminta agar Mbak menjadi jodohnya."
"Lalu sekarang, Mbak Zahra dengan mudahnya menolak taaruf dari Mas Wildan. Mbak Zahra jahat!" Teriakan itu membuat Zahra tak percaya. Ternyata keputusannya telah menyakiti banyak orang.
"Maaf, Ainun. Aku--aku gak tahu kalau--" Sekali lagi, ucapannya terpotong oleh kalimat yang tak pernah diduganya.
"Mbak memang gak tahu dan gak mau tahu! Sekarang lebih baik Mbak Zahra pergi atau aku yang pergi." Seperti tertimpa ribuan batu-batu besar. Zahra menatap sosok di depannya. Mengapa rasanya sesak, melihat Ainun begitu marah padanya.
"Tunggu, Ainun. Aku benar--" Perkataannya kembali terhenti ketika Ainun tak lagi mendengarkannya. Gadis itu melewatinya tanpa sepatah katapun keluar dari bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Espiritual"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...