26. Berharap itu Pahit

14.2K 1.3K 4
                                    

"Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia."
-Ali bin Abi Thalib-
.
.
.
2RC

...

Malam semakin kentara. Langit pun berubah hitam. Namun, wanita di sampingnya belum juga sadarkan diri. Pria itu menatap sepasang netra yang masih terpejam. Entah sudah berapa lama. Ia benar-benar khawatir.

Sekali lagi, ia memeras handuk basah itu dan kembali menempelkannya di kening Zahra. Istrinya itu masih demam meskipun tidak sepanas sebelumnya. Pria itu jadi berpikir. Sebenarnya ada apa dengan wanitanya? Sebesar itukah masalahnya hingga bisa jatuh pingsan.

Bukan tidak menyadarinya. Ia tahu Zahra memang menjauhinya entah karena apa. Namun, melihat istrinya pingsan membuat ia merasa tidak bisa menjaganya. Ia tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami yang bertanggung jawab.

"Jangan pergi, Mas. Jangan tinggalkan Zahra." Suara itu membuatnya tersadar. Ia meraba kening istrinya. Ditatapnya lekat wanita yang belum juga membuka mata. Zahra sepertinya mengigau.

Sebenarnya masalah apa yang membuat wanita itu sampai seperti ini. Mengapa Zahra tidak pernah mengatakannya. Padahal mereka bisa berbagi. Mungkinkah masalah ini menyangkut dirinya.

"Iya, Zahra. Saya tidak akan pergi." Ali kembali memegang tangan itu. Kalimat yang diucapkan Zahra begitu ambigu. Memangnya ia akan meninggalkan wanitanya itu kemana?

Apakah semua masalah ini berhubungan dengan kepergiannya. Namun, ia bahkan tidak berniat untuk pergi kemanapun. Zahra, sebenarnya ada apa dengannya?

Pria itu bangkit. Namun, sebelumnya ia kembali meraba kening Zahra lalu menarik selimut sampai dada. Ia harus mengganti air dalam baskom yang mulai dingin.

"Saya selalu mencintaimu, Zahra. Sekarang dan selamanya."

...

Zahra terbangun sembari memegangi kepalanya. Pusing masih menergap, meski tidak separah sebelumnya. Perlahan ia mencoba bangkit, satu tangannya masih berada dalam genggaman seseorang.

Ditatap lekat pria yang netranya masih terpejam. Meski dalam duduknya, ia bisa tertidur. Hatinya menghangat, melihat Ali yang begitu mengkhawatirkannya. Sampai menunggunya. Namun, sekali lagi ia tidak bisa seperti ini terus.

Zahra memegang tangan itu, hingga sang pemiliknya mengerjap-ngerjap pelan.

"Zahra." Dengan cepat, Zahra kembali mepelaskannya.

"Alhamdulillah kamu sudah baikan. Bagaimana sekarang. Masih pusing? Perlu sesuatu?" Pria itu semakin menggenggam tangan satunya. Membuat ia kembali menatap matanya. Sungguh, Zahra merasa lemah jika melihat manik itu.

"Mas mengapa bisa di sini?" Bukannya menjawab, Zahra kembali melontarkan pertanyaan. Menundukkan pandangan agar tak lagi bersitatap dengannya.

"Saya ketiduran." Jawaban itu membuatnya merasa bersalah. Ali sampai ketiduran hanya untuk merawatnya.

"Tapi bagaimana bisa?" Zahra bukannya tidak habis pikir. Namun, mengapa ia sampai sepengertian ini. Sungguh, dengan melakukannya membuat ia semakin berharap lebih dan tidak ingin kehilangannya.

Mungkin terdengar egois, tapi salahkah jika ia tidak ingin semuanya berakhir? Ia tidak bisa jika harus melepasnya. Oh, Allah. Mengapa rasanya sulit.

"Hanya dengan memegang tanganmu, saya bisa tidur dengan nyenyak." Zahra membeku. Semakin pria itu berkata, hatinya semakin tak bisa diajak kerjasama. Mengapa ia harus tersentuh dengan kata-kata itu.

Dua Rakaat CINTA [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang