"Rasa hatinya bergejolak tanpa mampu tertolak. Panas berapi-api. Inikah yang dinamakan cemburu?"
-2RC-...
Zahra menatap bangunan di depannya. Rumah dengan dua lantai itu akan menjadi tempatnya sekarang. Bersama pria yang kini menjadi suaminya. Menyebutnya dengan kata suami membuat ia merasa sesak sekaligus haru bersamaan.
"Masuklah, Zahra." Zahra tersentak oleh suara di sampingnya. Pria itu melangkah lebih dulu ke rumahnya. Maksudnya rumah mereka. Bagaimana mungkin Zahra lupa? Rumah yang seharusnya menjadi tempat suaminya dan Syifa.
Jangan heran. Bukan tanpa alasan Zahra mengatakannya. Kemarin ummi Salamah memberitahunya. Ali memang mempunyai usaha di bidang kuliner. Lebih tepatnya sejenis kedai atau lestoran dan beberapa bulan setelah lamaran, ia membeli rumah ini. Jadi sudah jelas bukan?
Langkahnya terasa berat. Pantaskah ia masuk sementara pria itu menyiapkan rumah ini untuk istrinya. Gadis yang ia cintai dan itu bukanlah dirinya.
Zahra menggelengkan pelan. Semua sudah terjadi. Inilah yang terbaik. Ia harus berhunudzon atas takdir-Nya karena Allah sesuai prasangka hambanya. Ah, Zahra merasa beberapa hari ini moodnya buruk.
"Di sini, kamarmu." Zahra menatap pintu coklat yang masih tertutup. Sungguh, ia tidak berharap lebih. Sebelumnya, Ali sudah menjelaskan mereka akan pisah kamar. Jadi bisakah ia berharap lebih? Tidak bukan.
"Ah, baiklah. Terima kasih." Pria itu mengangguk dan menyimpan barang-barang milik Zahra. Kemudian masuk ke ruangan yang bersebelahan dengan kamarnya.
Zahra mengembuskan napasnya perlahan. Ia harus cepat membereskan kamarnya kemudian memasak. Pria itu belum sempat sarapan karena memilih untuk mengajaknya ke rumah ini.
Satu jam berlalu. Di sinilah ia sekarang. Dapur berukuran sedang yang berhadapan langsung dengan meja makan. Zahra mulai mengiris bawang dan menyiapkan yang lainnya. hari ini ia akan membuat nasi goreng.
"Zahra." Jantungnya kembali berdebar. Mengapa setiap kali pria itu memanggilnya, selalu saja sama.
"Ah, ya." Ia menoleh. Pria yang baru saja menuangkan air ke dalam gelas itu menatapnya. Tatapan yang selalu saja membuatnya bingung.
"Itu di belakang? Ada-- darah."
"Hah? Darah." Zahra terkejut. Kalimat itu berhasil membuatnya terhenti. Ia melihat tangannya yang masih utuh, tidak tergores pisau. Lalu darah, mungkinkah?
Zahra melihat ke belakang dan benar saja. Secepat kilat, ia membalikkan badan. Menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Ia malu. Benar-benar malu. Pria itu melihatnya.
Sekarang ia mengerti, mengapa beberapa hari ini moodnya buruk. Ah, karena masalah akhir-akhir ini Zahra lupa untuk mengecek kalendernya. Namun, mengapa harus sekarang dan dengan situasi seakward ini.
"Mas, bisa minta tolong?" Zahra berucap pelan. Ia harus menebalkan wajahnya untuk sesaat. Meskipun sulit. Bahkan wajahnya terasa memanas. Namun, ada yang lebih bahaya dari ini. Tahukah?
"Apa?" Zahra semakin menggigit bibir bawahnya. Bagaimana cara ia mengatakannya.
"Karena baru pindah hari ini, sebagian barang Zahra masih di rumah ummi Hasmi." Ia menjeda kalimatnya. Semakin ia menjelaskan, rasa malunya semakin menjalar memenuhi sekujur tubuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Spiritual"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...