45. Ada Apa Dengan Hati?

13.3K 1K 5
                                    

"Setiap hukuman dari Allah adalah murni keadilan dan setiap nikmat dari-Nya adalah murni kasih sayang."
-Ibnu Taimiyyah-
.
.
.
2RC

...

Lembaran di langit sana mulai berubah biru. Sinar jingga pun sudah sepenuhnya tersenyum di antara pagi. Seperti kedua orang di sana yang juga tersenyum. Ah, bukan dua. Namun, tiga. Bersama bayi di gendongannya.

"Sudah, tidak ada lagi?" Zahra menggeleng. Pria itu mengambil selembar kertas yang diberikannya. Semua bahan-bahan yang ingin dibelinya sudah dibuat list. Hari ini ia berniat membuat cupcake. Sudah lama sekali ia tidak melakukan hobinya ini. Rasanya rindu.

"Istri saya sepertinya lagi ngidam makan cupcake. Ada-ada saja." Zahra menatap tajam. Bukan cepat pergi, pria itu malah mentertawakannya.

"Apasih Mas. Memang ada orang ngidam abis lahiran. Biasanya juga waktu hamil." Ia memalingkan wajah. Masih pagi sudah dibuat kesal. Lagipula tidak salah bukan jika ia ingin memakan cupcake? Ingatannya berlayar pada kejadian tempo hari. Saat suaminya dimarahi oleh mertuanya.

"Ada." Pria itu mengacak khimar maroon yang dipakainya sembari menggulum senyum. Ia menaikan alisnya.

"Maaf, Mas. Di acara kemarin kalau aja Zahra gak nangis. Umi gak mungkin marahin, Mas." Zahra tertunduk lesu. Ia masih merasa bersalah.

"Gapapa, Sayang." Kelopaknya membulat sempurna mendengar panggilan itu. Sementara Ali, Ali tertawa lepas. Sepertinya membuatnya jantungan adalah hal yang paling menyenangkan.

Jika saja membunuh orang tidak dosa. Ingin sekali ia memakan hidup-hidup suaminya ini atau memutilasi menjadi potongan-potongan kecil. Astagfirullah, mengapa dirinya jadi seperti psikopat.

"Enggak lucu Mas." Zahra kembali memalingkan wajah dan memilih menatap puteri kecilnya yang menggemaskan.

"Iya saya tahu yang lucu itu cuma kamu." Sekali lagi, Zahra membelalak. wajah itu kembali memanas dan sudah bisa dipastikan pipinya berubah merah. Pria itu selalu saja bisa membuatnya salah tingkah.

Wanita memang seperti itu bukan? Moodnya mudah sekali berubah hanya karena sebuah perhatian manis. Sebisa mungkin Zahra menahan diri untuk tidak tersenyum.

"Kalau gak ikhlas, gak usah beli sekalian." Jika sudah seperti ini, ia hanya bisa berpura-pura marah. Dengan begitu suaminya tidak akan sadar bahwa wajahnya mungkin sudah seperti kepiting rebus.

"Jangan marah. Apapun untuk istri saya ini. Jika perlu saya buat seribu candi dalam satu malam. Seperti cerita Malin Kundang." Nah, mulai lagi pria itu menggodanya. Sepertinya sehari saja, Ali tidak bisa jika tidak mengusilinya.

"Malin Kundang kok buat candi? Bukannya yang durhaka sama orang tua ya? Memangnya Mas bisa?" Sekilas, ia menoleh pada pria di depannya.

"Tidak." Zahra membelalak. Pria itu semakin tertawa keras. Untuk apa ia berkata seperti tadi jika akhirnya tetap tidak bisa. Suaminya ini suka mengumbar janji manis pada dirinya. Dasar, menyebalkan.

"Sudah sana pergi." Zahra mendorong Ali sampai ke depan pintu. Berlama-lama dengan pria itu membuatnya harus mempunyai stok kesabaran yang tinggi.

"Saya pergi dulu. Awas jangan rindu." Kalimatnya dibalas dengan tatapan horor. Setelah tersenyum puas, akhirnya pria itu pergi. Zahra hanya bisa mengelus dada. Untung sayang.

Dua Rakaat CINTA [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang