"Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu dan yang membencimu tidak percaya itu."
-Ali bin Abi Thalib-
.
.
.
2RC...
Malam yang hitam tergantikan putih dari lampu-lampu penerangan yang di pasang di setiap tenda. Tampak beberapa orang berlalu-lalang, mempersiapkan pernikahan yang tinggal beberapa jam lagi.
Gadis itu berdiri di dekat jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Ia mengembuskan napasnya dalam. Setelah mendapat telepon dari ummi Hasmia bahwa Zahra tidak bisa menemaninya karena pingsan. Ia khawatir sekaligus merasa bersalah.
Sahabatnya itu sedang sakit dan ia bahkan tidak bisa menemaninya. Syifa merasa menjadi sahabat yang jahat.
Syifa memilih keluar kamar setelah hampir setengah jam memikirkan kondisi Zahra. Tenggorokannya terasa kering. Namun, belum sempat ia turun. Netra itu menangkap sesosok tubuh yang berdiri membelakanginya.
"Ainun?" Ragu-ragu ia mengatakannya. Sedikit tak percaya karena hampir satu bulan ini, gadis dengan pasmina hitam itu tak pernah terlihat.
"Alhamdulillah, aku gak nyangka kamu datang. Apa kabar?" Gadis itu berbalik dan benar dugaannya. Sungguh, ia bahagia melihat Ainun menyempatkan diri menemuinya.
"Mbak Syifa tanya kabar aku?" Suara itu terdengar seolah tak percaya. Nada sinis disertai senyuman meremehkannya membuat Syifa terdiam. Ada apa dengan Ainun?
"Aku gak pernah baik-baik saja setelah Mbak merebut Mas Ali dariku." Syifa terkejut. Kalimat yang Ainun lontarkan membuat detak jantungnya seakan berhenti.
"Apa-- maksudmu?" Suaranya tercekat. Melihat kilatan amarah dari sepasang netra itu, membuatnya kehilangan kata-kata.
"Masih perlu aku jelasin? Jika aku jelasin, akankah semua bisa diubah?" Syifa masih diam, tidak mengerti kemana arah pembicaraan gadis di depannya.
"Aku mencintai Mas Ali. Puas?" Jantungnya berkali lipat tersentak. Syifa menatap tak percaya. Benarkah Ainun mengatakannya?
Bungkam. Ia tak tahu harus berkata apa. Mendengar pernyataan barusan membuatnya merasa bersalah yang teramat sangat. Sekarang ia mengerti mengapa Ainun bisa semarah itu.
"Kenapa Mbak diam? Terkejut berat?" Syifa mendongkak. Hatinya merasa tidak tenang. Sungguh, ia tidak pernah ingin menyakiti siapapun. Ia bahkan baru tahu jika Ainun mencintai Ali, calon suaminya. Jika ia tahu sebelumnya, mungkin semua tidak akan serumit ini.
"Aku bisa ngerti kalau Mbak gak tahu perasaanku, tapi mbak Zahra--"
"Ada apa dengan, Zahra?" tanyanya cepat. Mendengar nama sahabatnya disebutkan. Syifa tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia tidak ingin terjadi sesuatu pada Zahra.
"Mbak Zahra juga mencintai Mas Ali. Apa Mbak tahu itu?" Syifa membeku. Rasanya sesak. Kalimat itu tepat menancap di dadanya. Ia benar-benar tak percaya. Berkali lipat keterkejutannya.
"Bohong. Itu pasti gak benar kan?" Syifa menggeleng. Pasti pendengarannya yang salah. Zahra tidak mungkin mencintai pria yang tak lain adalah calon suaminya.
"Hah? Lucu. Sahabat macam apa yang gak tahu perasaan sahabatnya." Tidak. Sekali lagi, ia menggeleng. Syifa masih tidak bisa mempercayainya. Zahra tidak mungkin mencintai calon suaminya. Ini pasti hanya salah paham. Namun, bagaimana jika itu benar?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Spiritual"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...